Dedy Ahmad Hermansyah
Pernyataan Capres Prabowo Subianto pada Sarasehan 100 Ekonom di Indonesia di Menara Bank Mega, Rabu 8 November ini, menyangkut permintaannya agar buruh tidak banyak menuntut kenaikan upah kepada pengusaha, menuai banyak kritik. Meskipun dia mengkaitkannya dengan usaha subsidi buruh, namun wacana itu sendiri dikritik banyak pihak.
NAMUN, belum terlihat upaya meninjau pernyataan Prabowo ini dari konteks historis rezim Orde Baru, rezim yang dijalankan oleh Soeharto yang notabene mertuanya sendiri, rezim yang sangat menerapkan tangan besi termasuk dalam hal mengatur kehidupan buruh. Dan tangan besi ini diwakili oleh militer, pihak yang mendapatkan keistimewaan yang bukan saja dalam lapangan keamanan, juga dalam dunia politik (dwi-fungsi ABRI).
“Jangan kau tuntut pengusaha (naikkan UMP), kalau tidak untung. Jangan mencoba mencekik pengusaha, kalau pengusaha ditekan dia bisa pindah ke negara lain,” itu salah satu kutipan pidato Prabowo.
Pernyataan di atas terkesan ‘demokratis’, di mana Prabowo bermain dengan logika ‘jika-maka’. ‘Jika pengusaha tak untung, maka jangan nuntut naikkan upah. Jika mencekik pengusaha, maka mereka bisa lari ke negara lain’. Kurang lebih seperti itu logika yang dimainkan.
Ini bisa terucap karena demokrasi jauh lebih baik dibandingkan masa orde baru. Kelas buruh mulai bisa bersuara, dan kritik masih punya ruang. Pada masa Orde Baru tak perlu mengucapkan kalimat serupa itu. Tak ada transaksi semacam itu. Orde Baru bebas mengatur apa yang harus dilakukan oleh buruh. Jika berani melawan? Jawabannya adalah seperti apa yang menimpa Marsinah, perempuan buruh Pabrik Arloji, yang diculik dan mati dibunuh pada 8 Mei 1993.
Prabowo Subianto hidup dalam alam rezim Orde Baru, mengabdi dan diuntungkan oleh rezim yang dipimpin mertuanya sendiri itu, menjadi militer yang juga pengusaha: jadi seharusnya kita bisa lebih mudah memahami dari mana pikiran yang tercermin dalam pidatonya yang terkesan mengancam-ancam buruh tersebut.
Maka kita perlu merenungkan kembali sejarah Orde Baru terkait dosa-dosa mereka pada kaum buruh, agar kita tidak menjadi apa yang dikatakan oleh filsuf Spanyol, George Santayana, “mereka yang tidak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
Bagaimana penguasa Orde Baru dan militer memberangus gerakan buruh
Banyak orang berkata, mereka merindukan masa Soeharto: ‘teratur’ dan tak banyak ‘kekacauan’. “Piye, enak jamanku toh?” begitu bunyi meme yang banyak tersebar di media sosial atau di badan kendaraan yang lalu lalang di jalan-jalan. Kalimat itu dilengkapi wajah Soeharto yang nampak tersenyum.
Ada benarnya, jika masa Soeharto semuanya nampak ‘teratur’. Nyaris mustahil kita mendapatkan berita warga sipil menenteng pelantang suara berdemonstrasi di jalan-jalan. Warga tak boleh memiliki inisiatif membentuk kelompok atau perkumpulan, termasuk buruh yang ingin membentuk organisasinya sendiri: semuanya harus negara yang membentuknya. Kelompok di luar itu ilegal dan harus diberangus.
Negara dibuat seperti sistem keluarga di mana pemimpin yang notabene Soeharto sendiri adalah kepalanya yang harus dipatuhi. Mirip seperti yang digaungkan Louis XIV, “L etat’est Moi”, atau “negara adalah saya.” Sistem berlandaskan spirit konfusian ini terus dijaga oleh Soeharto hingga jebol dan runtuh pada Mei 1998.
Mengapa bisa nampak ‘teratur’ dan tak ada ‘kekacauan’? Ya, karena semua informasi yang dianggap bakal merugikan rezim disembunyikan dan dilarang beredar. Pers-pers yang menerbitkan berita-berita meresahkan penguasa dibredel bahkan ditutup. Majalah Tempo, Detik, dan beberapa media lainnya pernah merasakan dibredel atau dilarang terbit oleh penguasa Orde Baru.
Dalam kondisi seperti itu, sulit bagi kita membayangkan suara-suara dari kaum buruh mendapatkan ruang, alih-alih didiskusikan. Masa di mana teknologi media informasi masih ‘primitif’ dibandingkan sekarang—tak ada facebook, Instagram, tiktok: intinya tak ada jaringan internet—kekuasaan dengan sangat mudah dijalankan dan rakyat sangat mudah dibungkam.
Segera setelah didirikan pada 1966, selepas Soekarno dilengserkan, rezim Orde Baru langsung menyusun aturan-aturan yang sama sekali berkebalikan dengan spirit masa Soekarno. Buruh yang massanya begitu banyak mulai diatur dan dikondisikan agar sesuai dengan keinginan penguasa. Pada 27 Maret Soeharto secara resmi mengganti Departemen Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. Tak lama setelah diubah, langsung ditetapkan bahwa peringatan Hari Buruh setiap 1 Mei dihapus atau dilarang.
Tak sampai satu dasawarsa setelah Departemen Perburuhan diganti menjadi Departemen Tenaga kerja, yakni pada 20 Februari 1973, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) didirikan. Soeharto merestui organisasi tersebut dan mengusulkan agar tanggal pendirian organisasi ini—20 Februari—menjadi momen perayaan Hari Buruh.
Departemen telah diubah, organisasi buruh versi pemerintah telah dibentuk, saatnya ideologi buruh dibentuk ulang yang berkebalikan dengan semangat Soekarno. Maka setahun kemudian setelah FBSI dibentuk, pada 1974 diperkenalkanlah ideologi Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Inti spirit ideologi ini adalah agar bagaimana kaum buruh harus berjalan bersama-sama pengusaha memajukan pembangunan.
Buruh yang dibayangkan dalam ideologi HPP ini adalah buruh yang menjadi keluarga bersama-sama pengusaha. Buruh tak boleh ‘menuntut banyak dari pengusaha’, apalagi ‘mencekik pengusaha’.
Lebih satu dasawarsa kemudian setelah ideologi HPP dijalankan, terjadi perubahan lagi: FBSI diganti menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan HPP sendiri diganti menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal paling signifikan terkait pergantian ini adalah dihapusnya seluruh istilah bernama ‘buruh’. Kata ‘buruh’ tak boleh dipakai, dan sebagai gantinya adalah ‘pekerja’ atau ‘karyawan’.
Jika memperhatikan prinsip yang disebutkan dalam aturan-aturan itu di mana spriritnya adalah ‘keluarga’, ini justru berkebalikan dengan fakta yang dijalankan. Setiap masalah yang disuarakan buruh tidak diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi menggunakan kekerasan. Kata ‘diamankan’ sangat familiar digunakan pada masa ini. Diamankan tidak benar-benar membuat orang merasa aman, tapi justru merasa terancam.
Di sinilah militer memainkan perannya. Terlalu banyak kasus pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan yang tercatat pernah dilakukan oleh pihak militer dalam upaya menyelesaikan kasus buruh. Untuk menyebut di sini sebagai satu kasus paling terkenal adalah matinya buruh perempuan Marsinah pada 1993 saat melakukan protes, dan hilangnya Wiji Thukul, seorang buruh yang sekaligus aktivis pada 1998, dan tidak kembali hingga hari ini.
Begitulah gambaran singkat bagaimana nasib buruh pada masa Orde Baru. Tapi mengapa buruh menjadi penting dibicarakan? Ya, karena semua barang yang kita gunakan sehari-hari sebagian besar adalah produk buruh, yang kecenderungannya bekerja di bawah situasi dan kondisi yang tidak menyejahterakan buruh itu sendiri. Terang saja mereka punya hak untuk bersuara, selama hak mereka untuk mendapatkan upah layak belum diberikan.
Kita yang masih susah bersimpati kepada nasib buruh barangkali perlu menonton salah satu serial Spongebob Squarepants berjudul, “Squidward on Strike”. Serial tersebut berkisah tentang aksi mogok kerja yang dilakukan Squidward dan Spongebob karena majikan mereka, Tuan Crab, telah berlaku sewenang-wenang. Dalam satu adegan Squidward berkata, “orang-orang tak akan memahami nasib kaum buruh selama mereka masih mendapatkan kesenangan yang instan.”
Maka dengan momen November di mana UMP akan segera ditetapkan, biarkan buruh bersuara. Karena faktanya bukan pengusaha yang banyak tercekik selama ini, tapi buruhlah yang dicekik berkali-kali sepanjang sejarah republik ini. Berhentilah mengancam-ancam buruh!