Mataram (Suara NTB) – Pembahasan Rancangan APBD 2024 oleh Pemprov NTB dan DPRD NTB berlangsung cukup alot. Hal itu nampak mulai dari rapat paripurna penyerahan KUA-PPAS yang mengalami penundaan di DPRD. Dari informasi yang diserap, salah satu yang membuat pembahasan menjadi alot karena belum disepakatinya alokasi dana pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD.
Berdasarkan informasi yang diserap, DPRD NTB meminta alokasi dana Pokir dinaikkan pada APBD 2024 ini. Pemerintaan itu dilatarbelakangi karena ketepatan dengan tahun politik, yakni pemilu 2024. Selain itu alasannya juga karena Penjabat Gubernur tidak diangkat lewat pemilihan langsung, sehingga dinilai penjabat Gubernur tidak terlalu membutuhkan alokasi dana direktif.
Ketua Komisi III DPRD Provinsi NTB, TGH. Mahalli Fikri yang dikonfirmasi Suara NTB membatah bahwa dinamika yang cukup tinggi di DPRD dalam pembahasan RAPBD 2024 tersebut bukan karena perkara besaran alokasi dana Pokir saja.
“Saya tidak tahu itu, saya kebetulan tidak pernah ikut hadir rapat dan tidak pernah bicara itu. Saya rasa tidak seperti itu ya. Jadi nggak usah saling mendiskreditkan lah. Saya belum dengar ada kalau ada dinamika, diskusi tentang besaran ini besaran itu,” katanya.
Bagi Mahalli yang paling penting ini adalah bagaimana pembahasan APBD 2024 bisa selesai tepat waktu dan berkualitas. Mengingat sisa waktu hanya sampai 30 November paling telat APBD sudah harus diketok. Karena itu baik eksekutif maupun legislatif harus sama-sama saling memahami, agar bisa tercapai kesepakatan bersama.
“Persoalan sekarang ini kita harus sama maunya, harus menyatukan langkah kita, arah kita bersama dah memahami bersama-sama. Intinya kita saling memperkuat, artinya kami di DPRD ini semangatnya membantu tugas utama PJ Gubernur, dengan kita mengelola bersama anggaran ini,” kata Mahalli.
Kalaupun ada pembahasan terkait dengan besaran alokasi Pokir yang kemudian menjadi dinamika sehingga membuat pembahasan APBD menjadi alot. Menurut Mahalli semua itu masih bisa didiskusikan dengan baik, ia yakin masih punya jalan keluar yang baik, jika kedua pihak bisa saling memahami.
“Menurut saya pasti selalu bisa ada jalan keluar yang paling bagus. Jadi mari kita kelola bersama-sama, karena bagaimanapun hak butgeting kan ada sama kita di DPRD ini,” ucap politisi Partai Demokrat itu.
Diinformasikan dalam Rancangan KUA-PPAS yang diusulkan eksekutif sudah dialokasikan dana Pokir untuk masing-masing anggota dewan dalam kisaran sebesar Rp2 miliar per anggota. Namun angka dinilai terlalu kecil, sehingga dewan meminta penambahan dana Pokir sekitar Rp500 miliar. Sehingga masing-masing anggota akan mendapatkan sekitar Rp7 miliar.
Terkait hal itu, anggota Komisi I DPRD NTB dari Fraksi Demokrat, H Muhammad Rais Ishak tak menampik jika pihaknya meminta kenaikan dana Pokir tersebut. Namun ia tak menyebutkan berapa angkanya. Tapi menurut Rais kenaikan Pokir tersebut dinilai wajar, karena dewan juga memiliki konstituen yang membutuhkan program dan anggaran untuk pembangunan atau peningkatan perekonomian masyarakat NTB juga.
“Kita minta idealnya, nah idealnya itu kan tinggal mereka mempertimbangkannya. Kita tidak boleh memaksakan, kita minta idealnya karena alat (APBD) ini kita gunakan bersama untuk kepentingan rakyat juga,” kata Rais tanpa mau menyebutkan besaran angka dana Pokir yang ideal menurutnya itu.
Ia berharap pihak eksekutif dapat memahami kenapa anggota dewan meminta alokasi Pokir. Karena bagaimanapun juga, anggota dewan merupakan representasi dari rakyat NTB dari semua daerah kabupaten/kota.
“Kita ndak mau patok harga, tapi nilai idealnya berapa, supaya mereka (eksekutif ) juga kerja dan kita juga kerja. Dan kalau kita bagi dengan 65 orang anggota dewan ini, maka akan jadi penyebaran anggaran, sesuai dapil masing-masing. Tapi kalau mau dipegang satu (sendiri) APBD ini ya bapak paham sendiri lah, makanya jangan di bolak balik. Mari kita sama-sama,” jelasnya. (ndi).