Mataram (Suara NTB) – Badan Pangan Nasional (Bapanas) memastikan musim panen raya padi tahun 2024 akan mundur selama dua bulan akibat kemarau panjang. Pemerintah daerah dituntut berupaya mengelola stok pangan dengan sebaik-baiknya. Musim panen raya pertama padi kemungkinan paling cepat baru akan dimulai pada April 2024 mendatang atau bergeser hingga Mei Juni 2024.
Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi NTTB, H. Abdul Azis, SH., MH., di Mataram, Senin, 13 November 2023. Tahun – tahun sebelumnya, pada triwulan IV (Oktober-Desember) petani sudah mulai menabur benih (pembenihan), bahkan sudah melakukan penanaman. Sementara tahun ini kondisinya, hingga Bulan November umumnya petani belum melakukan penanaman padi.
“Artinya panen mundur dua bulan. Sementara stok (beras) di Bulog hanya bertahan sampai Februari 2024. Belum lagi sudah ada instruksi Presiden untuk melanjutkan bantuan pangan gratis kepada masyarakat,” ujarnya. Dengan mundurnya musim panen ini, secara otomatis juga akan berdampak kepada ketersediaan stok pangan.
Kondisi ini menurutnya sangat berkaitan erat dengan pilihan Provinsi NTB harus menerima beras impor untuk menjaga ketahanan stok pangan dan program-program pengendalian harga beras. “Dengan stok beras yang banyak berkurang, lalu dari mana Bulog mendatangkan beras untuk menyalurkan bantuan pangan kalau tidak ada stok. Sementara panen raya kita mundur menjadi Mei Juni (2024),” katanya.
Artinya, dalam situasi seperti ini, tidak ada pilihan bagi NTB selain menerima beras dari luar. Tidak bisa menurutnya, NTB menjaga gengsi menolak beras impor hanya karena merasa sebagai daerah lumbung pangan. “Pasti terjadi gejolak harga beras kalau stok kita sangat kurang. Saya pikir tidak menghilangkan marwah NTB sebagai penghasil beras. Karena saat panen, stok kita berlebihan, kita kasi juga ke daerah lain yang defisit. Pada saat kita defisit ya apa salahnya kita terima juga beras dari luar,” tegas mantan Sekda Kabupaten Sumbawa Barat ini.
Sementara itu, program diversisifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras belum bisa dilaksanakan secara optimal oleh masyarakat. kendati tersedia pisang, ubi, shorgum, dan beberapa komoditas pangan lainnya, kata kepala dinas, masyarakat NTB tidak terbiasa tidak mengonsumsi nasi. “Kalau belum makan nasi, masyarakat kita merasa belum makan. Walaupun sudah makan macam-macamnya. Inilah persoalan diversifikasi pangan kita. Karena ketergantungan terhadap beras tinggi. Sehingga harus dijaga ketersediaan cadangan beras kita,” demikian Azis. (bul)