Mataram (Suara NTB) – Prospek ekonomi dari kegiatan membatik di NTB dianggap cukup potensial. Sayangnya, potensi ini tidak diimbangi dengan jumlah pelakunya. Batik menjadi salah satu fesyen NTB yang sudah cukup lama dikenal, selain tenun. Bahkan NTB mempunyai batik Sasambo (Sasak, Samawa, Mbojo) yang menggambarkan tema kearifan lokal diatas kain, seperti kuliner, hasil alam, peternakan, hingga seni dan budaya.
SMK 5 Mataram adalah satu-satunya sekolah yang sudah lama dan konsisten mengembangkan kegiatan membatik. Untuk mendukung salah satu jurusan yang ada di sekolah ini. Kepala Sekolah SMK 5 Mataram, H. Istiqlal Makrip mengatakan, rumah produksi batik di NTB masih minim junmlahnya. Kendatipun, NTB sudah memiki batik lokal unggulan, yaitu Batik Sasambo.
Menurutnya, dari sisi bisnis, kegiatan membatik memiliki prospek yang cukup menjanjikan. Batik premium bisa diproduksi, dengan harga yang menggiurkan, perlembarnya kisaran Rp1.000.000 sampai Rp5.000.000. Begitu juga dengan batik menggunakan pewarna alam, harga jualnya berkisaran Rp2.000.000 sampai Rp2.500.000 per lembar. Sedangkan batik biasa untuk perlembar kainnya dihargai kisaran Rp300.000 Rp850.000.
“Sekarang bagaimana membuat kemasan, history dari batik itu, jadi membatik itu untuk promosinya tidak hanya cukup ini batik sasambo. Tapi harus ada cerita dibalik motif itu, sehingga pembeli itu bisa tertarik, kalau tidak ada storynya sama saja seperti batik dari daerah lain,” katanya.
Batik yang dihasilkan NTB berbeda dari batik di Jawa. Dimana batik NTB lepas dari pakemnya batik Jawa, dengan mengambil beberapa motif flora dan fauna serta mencampurkan dengan budaya yang ada di Lombok. Kemudian ada beberapa kekhasan sesuatu yang unik dari motif dihasilkan dari batik NTB.
“Yaitu tidak boleh menggambar hewan hidup sebagai motifnya. Karena pamali kalau di Lombok. Makanya motif yang digunakan adalah kangkung, sate, dan lain lain, tidak ada gambar ayam, sapi atau hewan hidup lainnya. Disinilah bedanya batik kita,. Sehingga dicari,” tuturnya.
Ia optimis masa depan membatik di NTB semakin bagus. Terutama dengan trendsetter sekarang back to nature (kembali ke alam), membatik dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti pewarna alami dari dedaunan. Meskipun tidak dipungkiri masih belum sepenuhnya bisa melepas dari bahan kimia.
“Contoh kami punya batik eco itu batik yang pewarnanya dari alam. Kami coba usahakan yang unik, spesial dan dia berbeda dari batik kebanyakan. Harganya bisa di atas 2- 2,5 juta, karena sulit polanya, tapi unik dan limited edition,” bebernya. Karena itu, regenerasi membatik ini harus menjadi perhatian. SMK 5 Mataram mendukung regerasi membatik dengan memperbanyak pelatihan-pelatihan membantik. Memberdayakan alumni untuk membatik. Dan siap memberikan pelatihan-pelatihan membatik kepada kelompok masyarakat.
“Dari pada ibu-ibu memecah batu, kerjanya luar biasa berat. Dan hasilnya segitu-segitu saja. Lebih baik kita buat program mengajarkan mereka membatik. Hasilnya bisa jauh lebih menjanjikan. Karena sayang potensi kita ini, pelakunya boleh dihitung hanya dengan jari jumlahnya,” jelas Istiqlal.
Untuk memassifkan membatik ini, menurutnya harus bergerak bersama seperti Pentahelix. Melibatkan multi pihak di mana unsur pemerintah sebegai penyedia payung kebijakan, akademisi untuk melakukan risert membatik yang berkembang, badan dan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa untuk rutin memberitakan membatik. Berkolaborasi serta berkomitmen untuk mencapai tujuan yang sama. (bul)