Produk Khas NTB Mahal dan Ikhtiar Menekan Harga

NTB  memiliki banyak produk lokal yang berbeda dengan daerah lain di Nusantara dan dunia. Banyak kuliner atau produk khas NTB ini dikemas melalui program industrialisasi dan dijadikan suvenir atau oleh-oleh bagi wisatawan. Sayangnya, harga produk ini dinilai masih mahal, sehingga banyak pembeli berpikir ulang untuk membeli.

MENJELANG akhir masa jabatan, Gubernur NTB Dr. H. Zulkieflimansyah meresmikan lokasi baru NTB Mall di Kompleks Islamic Center, Kota Mataram. Berlokasi di lantai dua, keberadaan NTB Mall ini sangat strategis, selain tempat yang luas dan lega. Malahan, masih banyak space yang belum terisi oleh produk-produk lokal NTB.

Produk TaponA Food yang banyak dijadikan oleh-oleh wisatawan dalam dan luar negeri. (Ekbis NTB/ist)

Ekbis NTB mencoba melihat lokasi penjualan produk NTB di kompleks IC ini. Masuk lewat depan IC, kemudian menuju depan NTB Mall lewat lapangan rumput. Para pembeli sebenarnya bisa masuk lewat pintu samping sebelah barat, namun kendaraan harus parkir di luar IC, karena pintu masuk sebelah barat didesain untuk berjalan.

Memasuki kompleks NTB Mall, ada kebanggaan melihat banyaknya produk khas NTB yang dipajang di tempat ini. Seperti dari kuliner (makanan hingga snack) yang sudah dikemas dan siap dijadikan oleh-oleh. Di sebelah barat banyak produk kerajinan tangan NTB yang dipajang dan sudah ada label harganya.

Para pengunjung tinggal membeli berbagai macam kebutuhan untuk dijadikan oleh-oleh. Harga sudah tertera di masing-masing produk.

Meski demikian, Marta, salah satu pengunjung bingung saat datang ke NTB Mall. Dirinya tidak tahu mana produk yang harus dibeli, karena melihat harga yang tertera di balik produk. Uang di kantong sebesar Rp200 ribu hanya bisa membeli beberapa produk. Padahal, kalau berbelanja di tempat produk ini diolah tidak semahal produk yang sudah dikemas dan dipajang di NTB Mall.

Dirinya pun hanya membeli dua produk yang nilainya di atas Rp80 ribu. Padahal kalau di luar, dirinya bisa mendapatkan 4 produk serupa. Sebagai orang yang berpenghasilan pas-pasan, harga produk seperti ini sangat mahal, sehingga mengharapkan ada peninjauan harga produk lokal yang dijadikan oleh-oleh, sehingga pengunjung tidak kapok berbelanja.

Sebagai orang yang memiliki mobilitas tinggi dan sering bepergian ke luar daerah, dirinya bisa membandingkan  harga produk khas NTB cukup mahal. Sebagai contoh, ketika dirinya pergi ke Jawa Timur, Jawa Barat hingga Sumatera Barat, harga produk lokal di daerah ini cukup dijangkau. Tidak heran, ketika dirinya membeli oleh-oleh dengan uang yang tidak jauh beda dengan uang yang dipergunakan membeli oleh-oleh di sejumlah toko oleh-oleh di NTB, cukup timpang sekali jumlahnya.

Padahal, ketika dirinya naik travel perjalanan bersama rombongan di luar daerah ada kesan sopir dan guide ‘’memaksa’’ belanja produk di beberapa toko oleh-oleh, harganya masih bisa dijangkau.

Meski demikian, dirinya memahami mahalnya produk lokal di pasar oleh oleh di NTB karena bahan baku juga mahal. Namun, pihaknya mengharapkan, kalau pun nilai produk mahal, maka harus sebanding dengan komposisi dan jenis produk. Hal ini dimaksudkan agar pembeli tidak kapok membeli produk lokal sebagai buah tangan untuk dibawa ke kampung halamannya.

Terkait hal ini, pengusaha mengakui tidak bisa menghindari penjualan produk dengan harga tinggi. Mereka terpaksa menerapkan harga tinggi, akibat ketergantungan bahan baku dari luar dan tingginya ongkos produksi.

Seperti disampaikan Owner TaponA Food, Desa Bilebante, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) Hj, Zaenab. Menurutnya, harga produk yang dijadikan oleh-oleh di sejumlah pusat oleh-oleh sebagai suatu hal yang wajar. Hal ini disebabkan sebagian besar produk oleh-oleh ini adalah buatan tangan (handmade). Beda halnya, jika memproduksi produk menggunakan mesin khusus atau dari pabrik, harganya jauh di bawah harga yang sudah diberlakukan.

‘’Kita juga mendatangkan bahan baku dari Jawa, seperti gula, tepung dan bahan lainnya. Kalau di Jawa diolah dengan skala besar, kalau kita handmade. Ini yang menyebabkan harganya agak sedikit mahal,’’ ungkapnya pada Ekbis NTB, Minggu, 24 September 2023.

Zaenab juga mengakui harga di pusat oleh-oleh dan tempat pembuatan produk berbeda. Apalagi bagi reseller, dirinya memberikan harga jauh lebih murah, karena akan dijual ulang. ‘’Kalau reseller mengambil di kami 100 pcs, kami berikan harga Rp17.500 untuk satu jenis dodol. Saya tidak tahu berapa mereka menjualnya. Ada yang menjual Rp20.000, bahkan lebih. Tidak tahu kalau teman-teman yang lain, berapa mereka menjualnya,’’ tambahnya.

Meski demikian, tegasnya, produk oleh-oleh khas NTB memiliki pasar dan segmen tersendiri, sehingga dirinya sebagai pengusaha yakin produk yang diproduksi cukup diminati, baik di dalam daerah dan luar daerah. Bahkan, dalam memasarkan produknya ke luar daerah, hingga Jakarta, harga produknya hanya berbeda Rp500 dengan harga yang diberikan pada reseller di luar daerah.

‘’Kami juga ada kerja sama dengan pihak kargo dan maskapai terkait pengiriman barang ke luar daerah. Kami membayar per kubikasi dengan harga murah. Namun, seperti apa mekanismenya, itu adalah rahasia kerja sama kami,’’ tambahnya.

Namun, sebagai pengusaha lokal, pihaknya mengharapkan harga produk khas NTB bisa lebih murah. Dalam hal ini, pemerintah harus memfasilitasi pengusaha lokal, baik dari sisi bahan baku maupun pemasarannya. Apalagi sebagian besar pengusaha di daerah ini masih mengandalkan produksi menggunakan tenaga manusia, sehingga menyebabkan biaya produksi juga membengkak.

Hal senada disampaikan M . Maliki, pemilik rumah produksi kain tenun Sentosa Sasak Tenun Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur . Menurutnya, perajin juga sangat berharap bisa menekan biaya produksi, sehingga harga jual produk-produk tenun lokal bisa dijual dengan harga yang jauh lebih murah.

Maliki mengemukakan beberapa fakta mengapa harga produk kain tenun tinggi. Pertama, NTB sangat bergantung dengan bahan baku benang dari luar. Menurut distributornya, benang yang biasa dibeli didatangkan dari India.

Sejak Covid-19, harga benang kata Maliki mengalami kenaikan. Harga benang yang dulunya 1 grenten Rp3.000, sudah naik menjadi hingga Rp5.000. harga bahan baku benang ini melonjak hampir 100 persen.

Kedua, ongkos penenun gedogan juga naik. Yang tadinya Rp150.000 per lembar ukuran 4 meter x 63 cm naik menjadi Rp200.000 hingga Rp250.000.

Kenaikan ongkos menenun gedogan ini menurutnya sangat wajar. Sebab satu lembar seukuran tersebut dikerjakan 2 minggu, hingga 3 minggu. Jika dihitung dengan harga Rp150.000 per lembar, artinya per hari ongkosnya tidak lebih dari Rp10.000.

“Apa mau tega, memberikan ongkos menenun tradisional hanya Rp10.000 sehari. Masih kurang dari harga beras sekilo sekarang. Sebenarnya harga ongkos ini saja sudah tidak layak. Tapi karena para penenun ini menganggap ini sebagai warisan budaya, niatnya hanya agar menenun ini tetap lestari,” papar Maliki.

Menenun menggunakan tenun gedogan masih sangat dibutuhkan. Alasannya, dengan menenun tradisional, berbagai motif tenun lokal bisa dibuat di atas lembar kain. Kendatipun saat ini sudah ada Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), namun keterbatasannya adalah terbatasnya kreativitas membuat motif.

“Dengan ATBM, motif yang dibuat hanya motif-motif polos. Tidak banyak motif kain lokal yang bisa dibuat. Lain halnya mesin tenun yang digunakan pengerajin di Jepara, Sumatera, mesin tenunnya menggunakan jangkar yang bisa membuat motif. Tapi ATBM yang menggunakan jangkar ini kan mahal bagi perajin,” tambahnya.

Ketiga dari segi pewarna bahan. Sama seperti benang, bahan pewarna tekstil ini masih mengandalkan pasokan dari luar daerah. Bahkan seringkali dibilang stoknya limit. Begitu juga jika menggunakan bahan pewarna alam yang menggunakan dedaunan dan kulit kayu. Menurutnya juga sulit mendapatkan tumbuh-tumbuhan yang dijadikan bahan pewarna alam.

Untuk menekan harga produk lokal, terutama kain tenun, Maliki sejak lama menyarankan kepada pemerintah daerah melalui OPD terkait, untuk membantu perajin mendapatkan bahan baku yang lebih murah. Sehingga tidak tergantung pada distributor dari luar.

“Kalau mau pemerintah daerah bantu perajin. NTB Mall misalnya, jangan jual bahan jadi dari perajin lokal saja. Seharusnya sediakan juga bahan bahan baku kebutuhan perajin. Sehingga kita tidak kesusahan mendapatkan bahan baku. Dan harganya mungkin bisa lebih murah agar harga jual produk lokal bisa lebih murah,” demikian Maliki.(bul/ham)







Digital Interaktif.

Edisi 1 Januari 1970

Sirkuit Mandalika Siap Gelar Balapan Mobil Perdana, Masyarakat Bisa Nonton Gratis

0
Praya (Suara NTB) - Untuk pertama kalinya, Pertamina Mandalika International Circuit bakal menggelar ajang balapan mobil pada tahun ini. Setelah sebelumnya sukses menggelar sejumlah...

Latest Posts

Sirkuit Mandalika Siap Gelar Balapan Mobil Perdana, Masyarakat Bisa Nonton Gratis

Praya (Suara NTB) - Untuk pertama kalinya, Pertamina Mandalika...

Pengumuman Hasil Tes PPPK 2023 Diumumkan 15 Desember

PROSES penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memasuki...

APBD NTB 2024 Disahkan, Pj Gubernur : Pastikan Tata Kelola Pemerintahan Semakin Baik

Mataram (Suara NTB)-Rapat paripurna DPRD Provinsi NTB resmi mengesahkan...

Pemprov NTB Akhirnya Terima DBH Keuntungan Bersih PT AMNT Sebesar Rp107 Miliar

Mataram (Suara NTB) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB akhirnya...