Mataram (Suara NTB) – Guru besar Universitas Mataram (Unram) Profesor Zainal Asikin memberikan atensi khusus terkait adanya fenomena penutupan paksa tempat usaha di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara yang dilakukan oleh warga. “Sebagai tim percepatan investasi di Pemprov NTB, saya merasa terpanggil dengan fenomena penutupan tempat usaha di kawasan wisata ini. Bahkan tercatat sudah ada enam tempat usaha yang ditutup warga,” sebut Prof. Asikin, Jumat, 22 September 2023.
Asikin menduga aksi penutupan tersebut dilakukan warga karena adanya dugaan wanprestasi di perjanjian kontrak sewa menyewa ataupun jual beli bangunan sejumlah tempat usaha. “Perjanjian kontrak bermasalah karena hasil kesepakatan kerjasama antara pengusaha lokal dengan warga negara asing (WNA) tidak dijalankan,” ujarnya.
Wanprestasi tersebut berkaitan dengan perjanjian kerjasama antara WNA yang menyewa tempat usaha milik pengusaha lokal tidak melaksanakan kewajiban. Salah satunya pembayaran sewa ataupun pelunasan pembelian sesuai kontrak. “Adanya reaksi tersebut karena persoalan sewa menyewa dan jual beli, sehingga menjadi wanprestasi dari pihak penyewa dari kalangan WNA,” ujar dia.
Asikin meminta agar Pemprov NTB memberikan atensi khusus terhadap persoalan ini. Jika dibiarkan berlarut, akan berpengaruh terhadap pendapatan daerah, apalagi kawasan gili menjadi penyumbang terbesar pendapatan daerah. “Jangan dianggap remeh, harus ada kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat kita, bukan orang asing,” ucapnya.
Pemprov pun diharapkan bisa lebih selektif lagi dalam memberikan izin hak guna bangunan (HGB) ke WNA untuk mengelola usaha. Dia menduga WNA yang melakukan investasi banyak yang nakal. “Pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan HGB ke WNA karena kebanyakan yang bermasalah, mereka nakal,” ujar Asikin.
Sementara terkait dengan klaim WNA tidak melaksanakan kewajiban dalam perjanjian kontrak karena mereka telah mengantongi HGB dan menyetorkan royalti ke pemerintah. Hal ini yang muncul menjadi persoalan utang piutang dengan pengusaha lokal. “Adanya kepemilikan HGB itu yang akhirnya jadi modus WNA itu tidak mau membayar sewa ataupun pelunasan pembelian sesuai perjanjian kontrak,” katanya.
Perjanjian kontrak antara WNA dan pengusaha lokal itu berbeda dengan status kepemilikan HGB yang diberikan pemerintah. Karena pada prinsipnya lahan tersebut tetap milik pemerintah. “Memang lahan milik pemerintah, tetapi perjanjian kontrak dengan pengusaha lokal ini persoalan tempat usahanya, sewa menyewa bangunan ataupun jual beli bangunan,” pungkasnya. (ils)