Jakarta (Suara NTB) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dijadwalkan melantik Drs H. Lalu Gita Ariadi,M.Sc., sebagai Penjabat (Pj) Gubernur NTB di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Jakarta, Selasa, 19 September 2023. Pelantikan Sekda Provinsi NTB ini dilakukan karena masa jabatan Dr. H. Zulkieflimansyah, M.Sc., sebagai Gubernur NTB dan Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd., Wakil Gubernur NTB berakhir.
Pada momen pelantikan ini rencananya akan dihadiri Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), bupati/walikota se NTB, anggota DPR RI dan DPD RI daerah pemilihan NTB, pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup Pemprov NTB serta sejumlah tokoh agama dan masyarakat di daerah ini.
Dalam mempersiapkan pelaksanaan pelantikan Selasa ini, dilakukan gladi bersih di Kemendagri. Kepala Biro Pemerintahan Setda NTB Ir. H. Lalu Hamdi, M.Si., menyebut, gladi bersih dihadiri dari jajaran protokol Kemendagri, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda NTB Drs. H. Lalu Fathurrahman, MSi., Biro Adpim Setda NTB dan Kepala Biro Pemerintahan Setda NTB.
Anggota DPD RI, H. Ahmad Sukisman Azmy yang dikonfirmasi Suara NTB, Senin, 18 September 2023 mengaku siap menghadiri pelantikan Pj Gubernur di Kemendagri yang akan digelar Selasa ini. Dirinya hanya bisa menghadiri pelantikan saja, tapi kegiatan ramah tamah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tidak bisa dihadirinya. “Sebelum mengikuti sidang, saya sempatkan akan hadir pada saat pelantikan “ ujarnya.
Ditempa Disiplin
Dalam wawancara khusus dengan Suara NTB, Sabtu, 16 September 2023 di kediamannya, Lalu Gita Ariadi menceritakan kisah hidupnya. Masa kecilnya ditempa dengan penuh kedisiplinan orang tuanya. Karena ia adalah anak pertama, sehingga ia mendapat perhatian yang penuh dari orang tua, dengan harapan bisa menjadi teladan dan pengayom bagi adik-adiknya kelak.
Lalu Gita yang lahir 1 Oktober 1965 di Puyung Lombok Tengah ini mengaku punya masa kecil yang ‘’kurang bahagia’’ lantaran harus mengikuti jadwal sekolah dan belajar di rumah secara disiplin. Dengan demikian, porsi bermainnya yang berkurang karena harus belajar. Banyak membaca buku, mengaji dan mengulang pelajaran bersama ayahnya yang bernama Lalu Purwa Gita.
“Saat pulang sekolah, kemudian salat, makan, dan wajib tidur siang. Salat ashar lalu ngaji, malamnya sering duduk bersama Mamiq (ayah-red) untuk mengulang pelajaran. Begitu keseharian saya sampai dengan SMP tuntas,’’ cerita Miq Gita, sapaan akrabnya.
Pada saat memasuki masa libur, masa bermain juga tak banyak didapat. Karena Lalu Gita kecil harus ‘menghapal’ dan memahami isi buku yang akan dipelajari di semester berikutnya. Buku Himpunan Pengetahuan Umum (HPU) dan Himpunan Pengetahuan Sosial (HPS) dipelajari lebih awal. Sehingga pada saat masuk kelas usai liburan, ia akan menjalani proses belajar dengan enteng.
“Saya terbiasa membaca habis subuh, membaca hapalan harus keras-keras. Supaya tak ngantuk dan kepala kita jernih. Alhamdulillah sering jadi juara umum di kelas saat itu,” ceritanya.
Sebagai motivasi, ayahnya rutin memberikan hadiah jika mendapatkan nilai-nilai yang tinggi di kelas. Bahkan ia bisa membeli kamera Ricoh F50 di tahun 1977 hasil menabung yang berasal dari bonus-bonus juara dari kelas 1 SMP sampai tamat.
“Akhirnya saya jadi tukang foto. Kalau ada begawe, saya juru fotonya. Tapi sayang saya sendiri kok nggak ndak punya banyak foto,” ujarnya sambil tertawa.
Gita sendiri menamatkan pendidikan SD di SDN 2 Karang Jangkong. Pendidikan SMP di SMPN 1 Taliwang dan di SMAN 1 Mataram. Di SMAN 1 Mataram ia mengambil jurusan IPA karena sang ayah berharap nantinya bisa menjadi Insinyur Pertanian. Hal ini tak terlepas dari tempat bekerja sang ayah di PT. Pertani yang banyak berhubungan dengan para pejabat di Dinas Pertanian.
Namun saat kuliah, ia mengambil jurusan Administrasi Negara di Universitas Brawijaya Malang. Di momen inilah kreativitas dan jiwa kepemimpinannya mulai terasah. Ia sempat menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Administrasi Negara Brawijaya dan didapuk menjadi mahasiswa teladan bersama dua mahasiswa lainnya di tahun 1988.
“Tahun 1988 saya jadi mahasiswa teladan di Brawijaya bersama dua orang lainnya. Satu adalah Ir. Moh Zainal Fatah, kini jadi Sekjen Kementerian PUPR dan Ketua IKA Brawijaya Nasional. Dan Dr.Muhammad Najih yang kini jadi Kepada Ombudsman RI,” ujarnya.
Lalu Gita Ariadi muda juga produktif menulis. Satu tulisan opini di media Suara Indonesia saat itu dibayar Rp15 ribu. Sebuah angka yang tak kecil, karena saat itu dia dikirimi uang saku tiap bulan sebesar 60 ribu. Gita juga rajin menulis di sejumlah media nasional seperti Jawa Pos, Republika, Suara Karya dan lainnya. Honor dari menulis itu kemudian digunakan untuk membeli buku dan kebutuhan lain selama menjadi mahasiswa. “Saya juga dapat beasiswa Supersemar Rp25 ribu sebulan,” ujarnya.
Karir pertama setelah selesai kuliah yaitu menjadi PNS di Kabupaten Sumbawa selama lima tahun. Selama berkarir di sana, ia banyak mengunjungi desa-desa yang terpencil seperti Desa Batu Bulan, Tepal, Batu Rotok, Baudesa dengan menaiki kuda dinas. “Karena saya ditahu hobi menulis oleh Pemkab Sumbawa, saya diminta jadi konseptor pidato Bupati Sumbawa saat itu,” kenangnya.
Terakhir ia berpesan kepada para ASN untuk sungguh-sungguh belajar, mengabdi, melakukan tugas-tugasnya dengan baik, serta terus berinovasi sesuai dengan tuntutan zaman untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (ham/ris)