Mataram (Suara NTB) – Pemprov NTB telah memberikan intervensi pemberian protein hewani berupa telur untuk penderita stunting di daerah ini, terutama di Pulau Lombok yang angka stuntingnya masih tinggi.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr.H.Lalu Hamzi Fikri mengatakan, durasi pemberian telur yang direkomendasikan untuk penderita stunting yaitu selama 90 hari. Dampak yang bisa terlihat yaitu, kondisi gizi anak membaik dan semakin banyak yang keluar dari status stunting.
Ia menilai gerakan Bhakti Stunting yang dilaksanakan oleh Pemprov NTB efektif untuk melakukan edukasi dan intervensi faktor determinan stunting. Sehingga gerakan ini bisa berlanjut tidak hanya 90 hari, namun bisa berlanjut sampai 90 lagi lagi sesuai dengan rekomendasi dari BKKBN.
“Tren status gizi anak usia 6 – 23 bulan setelah diintervensi protein hewani, rata-rata terjadi penurunan kasus stunting berdasarkan desa atau lokus yang kita intervensi. Ada rencana gerakan ini terus berlanjut,” kata Lalu Hamzi Fikri kepada Suara NTB Kamis, 14 September 2023 kemarin.
Sejauh ini belum ada data terbaru yang dirilis terkait dengan berapa angka atau persentase stunting di NTB. Namun sebagai gambaran, dalam lima tahun terakhir yakni di tahun 2019 sebesar 25,5% dari target 27% dengan input data 70.5%, tahun 2020 sebesar 23,3% dari target 24,1% dengan input data 82, 70%, tahun 2021 sebesar 19.20% dari target 21, 1% dengan input data 98.54%, tahun 2022 sebesar 16.80% dari target 18.4% dengan input data 99.57%, dan update pengukuran Februari tahun 2023 stunting sebesar 14,76% dari target 16% dengan input data 97,87%.
Balita stunting di 10 Kabupaten/Kota se Provinsi NTB tahun 2023 terus mengalami penurunan terlihat dari presentase balita stunting berdasarkan data e-PPGBM. Misalnya di Kabupaten Sumbawa 7,88%, Sumbawa Barat 7,81%, Bima 11,63%, Dompu 12,09%, Kota Bima 12,54%, Lombok Barat 13,62%, Kota Mataram 15,66%, Lombok Timur 16,69%, Lombok Tengah 17,50% dan Lombok Utara 19,49%.
“Pada evaluasi nasional rata-rata balita ditimbang selama semester 1 tahun 2023, capaian NTB termasuk tertinggi sebesar 80,23% yaitu urutan pertama dari 38 Provinsi se-Indonesia,” terang dr. Fikri.
Gerakan Bakti Stunting sendiri dimulai sejak bulan Juni sampai dengan September tahun 2023. Gerakan Bakti Stunting tahap awal menangani 14.422 kasus Stunting, 820 ibu hamil KEK, 601 ibu hamil Anemia, dan 5.326 Wasting yang tersebar di Pulau Lombok.
Sasaran bakti stunting mendapatkan intervensi protein hewani berupa telur yang diberikan dan dikonsumsi selama 90 hari berturut-turut. Dimana sasaran stunting dan wasting mendapatkan dan mengonsumsi dua butir telur/hari, dan sasaran lainnya seperti ibu hamil anemia dan Kurang Energi Kronik (KEK) mendapatkan dan mengonsumsi 1 butir telur/hari.
“Kegiatan ini melibatkan pemerintahan desa dan masyarakat setempat secara aktif dalam pemantauan distribusi dan konsumsi telur oleh sasaran,” imbuhnya.
Keberlangsungan Bhakti Stunting ini perlu untuk terus dijaga sebagai pintu masuk dalam pencegahan dan penanggulangan stunting di NTB. Dengan keterlibatan semua pihak, diharapkan target nasional penurunan stunting sampai 14 % pada tahun 2024 optimis dapat tercapai.
Sebelumnya Wakil Gubernur NTB Dr. Hj Sitti Rohmi Djalilah mengatakan, tahun 2023 ini, angka stunting di NTB telah berada di bawah 15%. Keberhasilan yang merupakan buah kerjasama yang baik dari seluruh pihak. Begitu juga dengan pantauan data by name by address, dimana penanganan stunting di NTB telah tersistem dengan sangat baik dan berkelanjutan.
Wagub juga mengingatkan agar kader posyandu di seluruh kabupaten/kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan pada keluarga. ‘’Kita sangat percaya diri dengan data kita (by name by address). Bisa dicek orangnya, anaknya bisa dicari, anaknya ketahuan dan bisa dikroscek terus,’’ ujarnya. (ris)