Mataram (Suara NTB) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak membenarkan bisnis atau investasi yang dijalankan seperti pola yang dikembangkan oleh PT FEC Shopping Indonesia (Future E-Commerce/FEC) yang tengah menjadi perhatian publik saat ini.
Sebagaimana diketahui, investasi FEC berkembang di Provinsi NTB. Bahkan menjadi salah satu provinsi dengan jumlah member paling massif.
Cara kerja dari aplikasi FEC ini seperti Multi Level Marketing atau MLM. M, masyarakat diajak bergabung oleh anggota FEC yang dinaungi oleh mentor. Mentor ini memiliki tugas untuk membina anggota baru dan mendorong anggota tersebut untuk merekrut anggota baru lainnya.
Untuk bergabung, ada ketentuan harus menginvestasikan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan akun agar bisa menjual beli produk yang katanya ditawarkan di aplikasi FEC.
Sejumlah pihak juga menyebut model bisnis yang dijalankan oleh FEC ini adalah skema ponzi, dimana keuntungan didapat bukan melalui bisnis murni melainkan dari uang anggota baru yang berinvestasi.
Satuan Tugas Pemberantasan Keuangan Ilegal (PAKI) sendiri telah mencabut izin usaha dari FEC karena terindikasi menjalankan usaha tidak sesuai izin serta menghimpun dana masyarakat tanpa izin. Diperkirakan ada puluhan ribu orang yang menjadi korban investasi bodong FEC ini di Provinsi NTB.
Ketua MUI Provinsi NTB, Prof. Saiful Muslim memberikan pencerahan, sebagaimana syariatnya, investasi atau kegiatan usaha dagang dilakukan dengan diawali pertemuan langsung antara para pihak. Kemudian diperlihatkan produk yang diperjualbelikan. Lalu dilakukan tawar menawar dan disepakati besaran keuntungannya.
“Usaha itu harus jelas, apa usahanya. Sistemnya bagaimana, harganya berapa. Keuntungannya berapa. Dan jangka waktunya sampai kapan, kan harus jelas itu,” katanya.
“Kalau tidak begitu, bagaimana kita bisa yakin. Dan tiba-tiba kirim uang. Kan bodoh itu,” katanya. Masyarakat diminta untuk lebih berhati-hati memilih investasi. Jangan sekedar tergiur dengan keuntungan besar. tetapi produknya tidak jelas. Barangnya tidak diketahui langsung, tidak dilihat langsung. Dan tidak ada kesepakatan langsung dengan pemilik barang. Itu menurutnya tawaran-tawaran tidak jelas.
“Dari pandangan agama ya tidak boleh dong. Kalau mau jual beli apapun kan harus salaman, harus ada perjanjian. Harus ada barangnya. Uangnya juga harus ada. Sehingga jelas. Dengan ketentuan yang jelas,” tambahnya.
Itupun menuruutnya, harus ada yang menyaksikan transaksinya. Sehingga akad bisnisnya menjadi jelas.
“Kalau tidak seperti itu, ya riba. Karena barang yang dibisniskan tidak jelas. Jangan tergiur dengan iming-iming investasi keuntungannya besar. yang menawarkan ada kemudahan. Harus hati-hati,” tegasnya.(bul)