Bima (Suara NTB) – Warga beberapa Desa di Kabupaten Bima mengalami krisis air bersih. Demi mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, mereka harus mengambil air di desa lain. Bahkan ada yang terpaksa membeli air jerigen.
Seorang warga Desa Doridungga Kecamatan Donggo bernama Tochin, mengaku hampir seluruh warga Desa setempat mengeluhkan kekurangan air bersih. Pasalnya, selain hanya andalkan pasokan (distribusi) dari BPBD, air bersih harus diambil dari Desa lain yang jaraknya cukup jauh.
“Saat ini, warga Desa Doridungga kesulitan air bersih. Untuk mendapatkan air bersih, kami harus mengambilnya dari Desa lain, jika tidak dipasok BPBD,” ujarnya kepada Suara NTB, Senin, 11 September 2023.
Ia berharap kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, melalui BPBD agar segera mencarikan solusi terhadap masalah krisis air bersih yang dihadapi warga Doridungga tersebut. Mengingat persoalan itu, terus terjadi setiap tahun, pada saat memasuki musim kemarau.
“Kita harapkan Pemerintah mencarikan solusi jangka panjang untuk mengatasi persoalan air bersih di Desa Doridungga ini,” harapnya.
Krisis air bersih juga dialami warga Desa Sanolo Kecamatan Bolo. Warga setempat bernama Arif, mengatakan, untuk mendapatkan air bersih dalam memenuhi kebutuhan, warga harus membeli air jerigen. Satu jerigen yang berisi 25 liter tersebut, harganya Rp4.000.
“Untuk mendapatkan air bersih, kami disini harus membeli karena jarang ada pasokan air dari BPBD,” ujarnya.
Ia menilai, kondisi tersebut membuat beban ekonomi masyarakat semakin bertambah. Pasalnya selain membeli lauk-pauk, warga setempat juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk keperluan membeli air bersih dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Beban masyarakat sekarang bertambah. Tidak hanya membeli lauk pauk, tapi juga membeli air bersih setiap hari,” ujarnya.
Terkait kondisi yang ada, Arif berharap Pemkab Bima melalui Dinas teknis agar segera memberikan atensi dan mencarikan solusi. Pasalnya air bersih merupakan kebutuhan vital bagi warga untuk minum, mandi masak hingga mencuci.
“Kita harapkan kesulitan air bersih yang dialami warga Sanolo ini bisa diatasi serius oleh Pemerintah,” harapnya.
Untuk diketahui Pemerintah Pemkab Bima menetapkan siaga darurat kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Kabupaten Bima selama 120 hari, terhitung sejak 13 Juni sampai dengan 10 Desember 2023 mendatang.
Penetapan tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri SE, M.IP dengan nomor 188.45/233/07.4 Tahun 2023, yang ditetapkan pada tanggal 12 Juni 2023 kemarin.
Menindak lanjuti SK tersebut, Pemkab Bima melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melakukan distribusi air bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di beberapa lokasi terdampak
BPBD mencatat 14 Desa di Kabupaten Bima mengalami krisis air bersih dampak dari bencana kekeringan musim kemarau tahun 2023. Tersebar di lima wilayah Kecamatan antara lain Palibelo, Sape, Langgudu, Bolo dan Donggo.
“Ada 14 Desa tersebar di lima Kecamatan yang mengalami krisis air bersih akibat dampak bencana kekeringan,” kata Kepala BPBD Kabupaten Bima, Drs. Isyrah, belum lama ini.
Diprakirakan lanjut dia, wilayah yang alami krisis air bersih di Kabupaten Bima akan terus bertambah karena masih musim kemarau. Bahkan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus sampai dengan September Bulan depan.
“Prakiraan kita, Desa atau wilayah yang mengalami krisis air bersih akan bertambah. Apalagi puncak musim kemarau terjadi Agustus -September,” katanya.
Untuk mengatasi krisis air bersih dampak bencana kekeringan, Isyrah mengaku pihaknya hanya melayani atau menyalurkan air bersih. Pelayanannya baru sebagian saja, karena pipa dan mesin pompa air mengalami kerusakan.
“Saat ini pelayanan yang kita lakukan hanya menyalurkan air bersih saja untuk mengatasi dampak kekeringan ini,” katanya.
Apa faktor pemicu kekeringan yang sebabkan krisis air bersih? Ia mengaku berdasarkan hasil kajian BPBD, yang menjadi pemicu utama, salah satunya akibat dampak hutan gundul. Kawasan hutan kebanyakan sudah beralih fungsi menjadi lahan untuk penanaman jagung.
“Faktor utamanya hutan digunduli untuk area lahan tanam jagung, mata air semakin berkurang. Kondisi ini bukan lagi menjadi rahasia umum,” pungkasnya. (uki)