Mataram (Suara NTB) – Korban investasi bodong Future E-Commerce Online (FEC) mulai melapor ke Polda NTB. Setelah Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PAKI) mencabut izinnya karena dianggap melakukan kegiatan usaha secara ilegal.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTB, Rico Rinaldy, didampingi Kepala Subbagian IKNB dan PM, Muhammad Abdul Mannan menyampaikan, saat ini pihaknya tengah mengumpulkan laporan-laporan yang masuk, baik secara langsung, maupun yang melaporkan melalui layanan hotline.
‘’Laporannya sudah ada, sedang kita kumpulkan. Ada yang sudah tanya-tanya juga, kalau saya lapor bagaimana dengan uang saya. Sudah banyak masuk. Laporan ini nanti akan kami teruskan ke polisi juga,’’ katanya.
Rico mengingatkan kepada masyarakat, terutama yang menjadi korban FEC agar berani melapor. Boleh ke OJK, atau bisa langsung ke Kepolisian setempat. Sebab dengan laporan itu dijadikan acuan untuk melakukan tindakan lanjutan.
“Apakah direkomendasikan rekeningnya (pentolan-pentolan FEC) untuk diblokir,” jelas Rico.
Satgas PAKI ini terdiri dari OJK, Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kominfo, Kemenag, Kemenkop UKM, Kemendikbunristek, Kejagung, Polri, Kementerian Investasi, PPATK. Dalam penanganan FEC ini, kata Rico, antar kementerian Lembaga melakukan koordinasi dan menangani sesuai tupoksinya.
Berdasarkan data yang dihimpun, pengelola FEC diketahui beridentitas Warga Negara Asing (WNA)/China. Satgas PAKI sudah melakukan pemeriksaan langsung ke kantor pusat FEC sebagaimana alamat yang tercantum di izin perdagangannya.
“Satgas PAKI sudah juga menelusuri langsung ke kantor sebagaimana yang dicantumkan. Tapi di alamat tersebut tidak ada aktivitasnya. Sepi. Orang-orangnya juga sudah dipanggil untuk diklarifikasi, tapi dua kali tidak memenuhi panggilan Satgas,” papar Rico.
Karena itu, setelah dinyatakan FEC ini ilegal, OJK di daerah juga menunggu masyarakat untuk melapor. Pihaknya juga masih mengumpulkan informasi jumlah korban dan potensi kerugiannya. Diketahui, FEC ini cukup masif di beberapa daerah di Indonesia. Selain NTB, ada Sumatera Selatan, Bandung, dan Cirebon.
‘’Kenapa kemudian masif di sini. Bisa jadi, karena masyarakat terlalu mudah terpengaruh iming-iming investasi dengan cara gampang. Tanpa bekerja, sudah dapat keuntungan. Padahal, sistem seperti ini secara syariah saja sudah tidak pas,’’ imbuhnya.
Diketahui, korban FEC ini beragam. Dari pejabat, kalangan intelektual, tokoh agama, termasuk kelompok masyarakat yang awam. Menurutnya, kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban ini sebetulnya sudah sangat faham. Ini bisnis berisiko. Namun tetap diikuti. Karena tergiur keuntungan instan.
“Risikonya sudah tahu. Tapi tidak mau belajar. Investasi serupa adalah yang kesekian. Dulu ada HIPO, ada LBC, ada LTC, ada juga DNA Pro. Seharusnya belajar dari sana,” imbuhnya.
Bisnis dengan skema ponzi ini memang tidak putus begitu saja. Ketika izinnya ditutup, pelakunya akan membuat izin yang lain. Karena itu, kembali kepada masyarakat, untuk cerdas-cerdas menerima tawaran invetasi. Harus dipastikan investasi tersebut legal (berizin), dan logis (menjanjikan keuntungan yang wajar).
“Bisnis dengan skema ponzi, biasanya bertahan tidak lama, tiga bulan, setahun, atau maksimal 2 tahun. Setelah berhasil mengumpulkan dana besar. ia akan hilang. Dan yang jadi korban adalah downline-downline dibawah. Karena itu, hati-hati saja,” demikian Rico.(bul)