NTB memasuki puncak musim kemarau pada bulan September ini. Hal ini menyebabkan masyarakat di 70 kecamatan di NTB dilanda krisis air bersih. Meski demikian, penanganan kekeringan ini masih dilakukan pemerintah kabupaten/kota bersama unit pelaksana teknis Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) di NTB.
‘’Kekeringan sekarang ini masih ditangani sama kabupaten, Kementerian PUPR. BPBD NTB belum menyalurkan air bersih ke masyarakat yang terdampak, karena belum ada anggaran. Kalau permintaan pendistribusian air bersih setiap hari ada,’’ ungkap Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB Ir. Ahmadi, S.P., menjawab Suara NTB akhir pekan kemarin.
Diakuinya, pihaknya belum bisa bergerak secara optimal dalam mengatasi masalah kekeringan, karena belum ada dukungan anggaran dari Bantuan Tidak Terduga (BTT) maupun Dana Siap Pakai (DSP). ‘’Itu yang membatasi gerakan kita, makanya Kementerian PUPR yang punya keluangan biaya operasional yang menangani dulu,’’ tambahnya.
Meski demikian, ungkapnya, Pemprov NTB melalui BPBD sebentar lagi akan menetapkan status tanggap darurat kekeringan. Dalam hal ini, pihaknya sedang mengajukan draf ke Biro Hukum Setda NTB untuk ditelaah
‘’Dengan ditetapkannya tanggap darurat, maka akan ada bantuan pendistribusian air bersih dari BTT dan DSP bagi wilayah yang dilanda kekeringan. Bantuan ini disalurkan karena kondisi semakin meningkat. Apapun kita harus berikan penanganan pembiayaan atau perhatian. Tanggap darurat itu sudah level tertinggi,’’ terangnya.
Mengenai daerah yang masuk kawasan kekeringan, akunya, ada sekitar 70 kecamatan di NTB, kecuali Kota Mataram yang tidak dilanda kekeringan. Kawasan ini selalu menjadi langganan kekeringan tiap tahun dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yakni 4 bulan hingga 6 bulan.
Menurutnya, Kota Mataram tidak dilanda kekeringan, karena secara prasarana sudah mencukupi, seperti Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sudah mencukupi, kemudian air permukaan, air sumur masih cukup.
‘’Tidak seperti daerah lain, kan air sumur, air spam tidak punya, sehingga mengalami kekeringan. Mereka bisa mendapatkan air setelah diantarkan air oleh pemerintah atau pihak yang biasa menyediakan air bersih menggunakan mobil tangki. Misalnya di Gili-gili dan wajib ada penanganan khusus seperti itu,’’ tegasnya.
Selain menyediakan dana melalui APBD Perubahan, ujarnya, BPBD NTB mengajukan proposal ke BNPB sekitar Rp17 miliar untuk penanganan dampak kekeringan. Namun, sampai saat ini, anggaran yang diajukan belum turun dari BNPB. Selain itu, pihaknya juga mendorong stakeholders terkait seperti BUMN dan badan usaha milik swasta untuk ikut membantu masyarakat yang mengalami krisis air bersih di musim kemarau ini.
Pada bagian lain, ungkapnya, potensi kebakaran cukup besar terjadi. Untuk itu, pihaknya mengimbau pada Damkar kabupaten/kota mengatasi dan bersiap-siap. Kalau secara peralatan dan personalia, BPBD NTB tidak memiliki personalia dan peralatan, karena baru dalam bentuk bidang. Meski demikian, pihaknya tetap berkoordinasi dengan kabupaten/kota mengenai kawasan mana yang rawan terjadi kebakaran, sehingga dari awal ada langkah antisipasi dan penanganan.
‘’Potensi rawan, semua kawasan, termasuk kawasan hutan punya potensi kebakaran. Kalau pada musim kemarau semua rawan, terutama kawasan dekat permukiman, karena aktivitas penduduk banyak di situ. Sehingga harus diantisipasi itu,’’ ujarnya. (ham)