Praya (Suara NTB) – Sempat mendapat protes hingga penolakan dari sejumlah pengusaha warung bakso di daerah ini, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) bergeming. Dengan memastikan tetap akan melanjutkan kebijakan penarikan pajak warung bakso yang sudah dimulai sejak beberapa bulan yang lalu tersebut. Di mana untuk tahap awal, sudah ada 20 warung bakso di Loteng yang masuk daftar wajib pajak.
“Jumlah tersebut dipastikan masih akan terus bertambah. Karena setelah ini kita akan melakukan pendataan kembali jumlah warung bakso di Loteng yang masuk kategori wajib pajak,”ungkap Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Loteng, Baiq Aluh Windayu, S.E., M.M., saat memberikan keterangan pers di Media Center Kominfo Loteng, Senin, 4 September 2023.
Dikatakannya, penetapan pajak kepada warung bakso tersebut sesuai dengan Perda. No. 14 tahun 2010. Tentang pajak dari restoran, rumah makan, warung, bar serta kafetaria. Di mana penyedia makanan dan minuman wajib membayar pajak sebesar 10 persen dari nilai omset yang diperoleh perbulannya.
“Kebijakan pajak 10 persen tersebut berlaku bagi warung bakso dengan omset minimal Rp 5 juta per bulan,” terangnya. Dengan kata lain, jika ada warung bakso omset per bulannya di atas Rp 5 juta, maka sudah wajib untuk membayar pajak.
Saat ini dari 20 warung bakso yang sudah masuk dalam pendataan wajib pajak, sampai saat ini belum seluruhnya yang menyetor pajak ke daerah. Di mana data penerimaan pada bulan Juli menyebutkan, baru 13 warung bakso yang menyetor pajak. Dengan total nilai mencapai Rp 2,2 juta.
Sejauh ini pihaknya terus mengimbau dan mengingatkan kepada pemilik dan penyelola warung bakso yang sudah masuk wajib pajak, untuk segera menyetorkan kewajibannya. Karena dalam hal ini pemerintah daerah sudah sangat kooperatif dengan para pemilik warung bakso tersebut. Pemilik warung bakso juga diberikan kemudahan berupa self assessment dengan menghitung sendiri nilai omset bulannya.
Karena pihaknya paham yang namanya usaha, pasti turun naik. Terkadang ramai, terkadang sepi, sehingga dengan pola self assessment pemilik warung bakso bisa melaporkan secara riil omzet bulannya. Maka per bulan besaran pajak yang disetor bisa saja tidak sama. Tergantung besaran omset bulannya.
Jadi kalau kemudian ada yang merasa keberataan atau dipaksa dengan besaran pajak yang harus disetor, itu keliru. Pasalnya, pemilik warung bakso sendiri yang menghitung dan melaporkan omset bulanannya. Dari sana pemilik warung bakso sudah bisa mengetahui berapa pajak yang harus disetor dengan kata lain, bukan Pemkab Loteng yang menetapkan besaran pajakanya.
“Tapi kalau tidak, nanti tim pemeriksa yang akan turun melakukan audit dengan melakukan uji petik. Dan, kemungkinan kewajiban pajaknya bisa lebih besar dari yang seharusnya disetor. Karena perhitungan pajak dilihat dari hasil uji petik yang dijumlahkan secara total selama satu bulan. Tanpa mempertimbangkan kondisi omset hari dari warung bakso tersebut,”jelas Aluh.
Tetapi kalau pemilik warung bakso rutin melapor dan membayar pajak, maka bisa terhindar dari kewajiban pajak yang lebih besar. Termasuk kemungkinan sanksi-sanksi lainnya.
Diakuinya, masih banyak hal dan kekurangan yang harus diperbaiki sejak pemberlakuan pajak warung bakso tersebut. Misalnya, soal kepatutan para pemilik warung bakso dalam melaporkan jumlah omset bulannnya. Karena dari proses uji petik yang pernah dilakukan, ada beberapa pemilik warung bakso yang kurang jujur melaporkan nilai omsetnya.
“Ada warung bakso yang omsetnya bisa mencapai 400 mangkok per hari. Tapi yang dilaporkanya hanya 150 mangkok saja. Terhadap pemilik warung tersebut, kita sudah memberikan teguran supaya jujur dalam melaporkan nilai omset jualannya. Jika tidak, tim pemeriksa akan turun untuk mengaudit. Kalau ditemukan kekurangan bayar, maka kita bisa terbitkan surat penagihan. Dan, itu harus dibayar,” tandas mantan Kepala BPKAD Loteng ini.
Disinggung sanksi bagi warung bakso yang enggan memenuhi kewajibannya, Aluh menegaskan, saat ini masih berupa teguran-teguran saja. Belum mengarah pada tindakan tegas. Tapi bukan tidak mungkin sanksi tegas diberlakukan jika masih saja membandel. “Pajak yang dibayarkan ini bukan untuk pemerintah daerah. Tapi akan dikembalikan lagi ke masyarakat berupa program-program pembangunan,”ujarnya. (kir)