Giri Menang (Suara NTB) – Pemkab Lombok Barat (Lobar) meminta APH (Aparat Penegak Hukum) dalam hal ini Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB untuk memperjelas status lahan Lombok City Center (LCC) yang masih tersandera, lantaran kasus yang membelit oknum mantan Dirut PT Tripat. Pasalnya, sejak berkasus tahun 2017, hingga kini aset seluas 8,4 hektar itu pun terbengkalai, tidak bisa dimanfaatkan oleh Pemkab hampir selama kurang lebih 6 tahun.
Lobar sendiri telah kehilangan pendapatan daerah atau loss of income sangat besar dalam persoalan ini. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Lobar, H. Fauzan Husniadi mengatakan, dengan adanya rekomendasi DPRD dalam Laporan keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Lobar tahun 2022, di mana Pemkab diminta mengambil alih lahan LCC dan meninjau ulang kerjasama operasional (KSO) antara PT Tripat dengan perusahaan, dianggap sebagai salah satu kemajuan. Dan ini bisa menjadi amunisi bagi pemkab melakukan pemulihan aset daerah tersebut.
“Kami sangat apresiasi, apalagi itu rekomendasi tertulis di LKPJ Bupati. Karena selama ini masih ngambang dan masih wacana-wacana saja. Tapi sekarang kami mendapatkan amunisi baru untuk segera mengambil alih” kata Fauzan, Senin, 12 Juni 2023.
Hanya saja permasalahan lahan LCC itu posisinya berada pada catatan lain, yakni di PT Tripat. Karena lahan itu sebagai penyertaan modal Pemkab ke Perusda tersebut. Sehingga yang perlu dipulihkan dulu adalah BUMD tersebut. Kalaupun tidak bisa, maka BUMD bisa mengembalikan aset itu ke pihak BPKAD.
Sebab kata dia, rekomendasi DPRD itu sudah jelas agar aset itu dikembalikan ke Pemkab. Kalau saat ini, dengan aset itu tercatat sebagai penyertaan modal di BUMD, Pemkab tidak bisa bergerak dengan langkah hukum yang akan dilakukan. “Kalau sekarang mau ambil langkah hukum, belum bisa kami tindaklanjuti,” ujarnya.
Pihaknya juga meminta kepada APH untuk memulihkan lahan aset Pemkab itu. APH perlu segera memperjelas status kasus lahan itu. ‘’Posisinya (kasus) masih di kejaksaan, sehingga kami berharap agar dipulihkan lahan ini, dan diperjelas oleh kejaksaan status lahan ini. Karena saat ini lahan ini tersandera, tidak bisa dimanfaatkan oleh Pemkab,” jelas dia. Pihaknya berharap APH mem-back up Pemkab memulihkan aset ini, supaya jelas manfaatnya untuk daerah. Sebab dengan kondisi ini lanjut dia, Pemkab sangat dirugikan.
Kondisi lahan itu saat ini terbangkalai dan menganggur. Lahan yang berstatus kelas I tidak dimanfaatkan sama sekali. Kalau dihitung sewa lahan kelas I, Rp25 juta per hektar per tahunnya. Dikalikan lahan seluas 8,6 hekhar. Selama setahun, pendapatan yang seharusnya bisa diperoleh mencapai Rp200-250 juta. Kalau ditotal selama aset itu tak dimanfaatkan semenjak tahun 2017, maka potensi pendapatan yang hilang dari sisi pengelolaan aset daerah itu mencapai Rp1,5 miliar lebih. “Kalau dikalikan Rp200-250 juta setahun, kemudian sejak lahan tak dimanfaatkan (2017 red), maka miliaran hilang pendapatan daerah. Itu kalau dari sisi sewa aset. Pemkab sangat dirugikan,” tegas dia. (her)