Mataram (Suara NTB) – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB menekankan agar para pejabat pengantar kerja dari Disnakertrans dan petugas antar kerja dari perusahaan harus mampu menjadi garda terdepan dalam melakukan berbagai upaya pencegahan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan penempatan PMI non prosedural.
Kepala Disnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H mengatakan, pihaknya telah menggelar kegiatan bimbingan teknis ( Bimtek) Petugas Antar Kerja 2023 beberapa waktu lalu. Kegiatan ini diikuti oleh pejabat fungsional pengantar kerja, petugas antar kerja Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota se-NTB, Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS), Bursa Kerja Khusus dan Bursa Kerja Swasta, Anjungan Siap Kerja, dan P3MI.
Gede mengungkapkan sepanjang tahun 2022 ada 752 kasus penempatan ilegal atau non prosedural yang berpotensi terjadinya Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO). Di NTB sendiri ada empat kasus penempatan non prosedural yang sudah divonis dengan hukuman berat dan 5 orang pelaku dugaan TPPO yang sedang ditangani aparat penegak hukum.
Modus penempatan non prosedural bahkan TPPO paling banyak, yaitu para calo atau tekong mengiming-imingi CPMI tempat kerja, pekerjaan dan gaji yang bagus tanpa perlu pengurusan dokumen.
“Bahkan masyarakat diberikan uang fit atau uang jalan. Di awal itu indah, dapat uang berjuta-juta. Tetapi sebenarnya itu bentuk penjeratan utang dan harus diwaspadai,” kata I Gede Putu Aryadi kepada wartawan Kamis, 8 Juni 2023.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian dan urgensi bersama untuk dapat melakukan berbagai upaya dan strategi pencegahan dan penanganan TPPO. Oleh karena itu, sesuai perintah Presiden, pemerintah melakukan tindakan preventif yang dimulai sejak dari hulu, yaitu di tingkat desa.
“Mulai saat ini kita harus lebih gencar melakukan upaya preventif. Mulai dari proses edukasi, penyampaian informasi dan rekrutmen tenaga kerja. Di sinilah fungsi utama pejabat pengantar kerja. Sebagai pioneer atau garda terdepan bagi masyarakat untuk mengakses informasi lapangan pekerjaan agar tidak terjebak dengan informasi yang salah dan ujung-ujungnya menjadi korban kejahatan,” tuturnya.
Menurutnya, pejabat pengantar kerja adalah guru yang harus memahami mekanisme sistem penempatan tenaga kerja, mampu mengakses informasi lowongan kerja yang valid, baik di dalam maupun luar negeri.
“Jika selama ini pengantar kerja hanya memberikan informasi yang manis saja tanpa memberikan gambaran konkret tentang kelebihan dan kekurangan suatu pekerjaan, maka akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Masyarakat jadi berharap banyak pada pekerjaan tersebut, namun karena kurangnya keterbukaan informasi, akhirnya mereka kecewa,” ujarnya.
Gede mengungkapkan tren kasus PMI nonprosedural semakin berkurang, karena pemerintah banyak melakukan pencegahan sebelum keberangkatan. Selain itu, adanya One Channel System(OCS) untuk sektor ladang di Malaysia turut memberikan dampak positif pengurangan PMI non prosedural.
Oleh karena itu, sistem ini dijadikan contoh Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) di negara Arab Saudi khusus sektor domestik (Pembantu rumah Tangga) yang berlaku tahun 2023 ini.
Dengan SPSK, penempatan CPMI hanya dilakukan oleh P3MI dan perusahaan penyalur pekerja di Arab Saudi yang telah terdaftar pada sistem. Perusahaan penyalur di Arab Saudi akan berperan menempatkan pekerja pada pemberi kerja, baik pengguna perorangan (rumah tangga) maupun badan usaha.
”Nantinya PMI akan mendapat gaji layak, dapat libur, upah lembur, dibekali alat komunikasi, dan hanya mengerjakan pekerjaan sesuai kompetensi yang dimiliki,” imbuhnya.
Di sinilah peran petugas antar kerja untuk memahami aturan dan konteksnya sehingga dapat memberikan edukasi bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri bila ingin bekerja ke luar negeri atau ingin menjadi wirausaha.
Pejabat pengantar kerja dan petugas antar kerja harus selangkah lebih maju dari sisi informasi dan pengalaman agar bisa membagikannya ke masyarakat yang membutuhkan.
Menurutnya, sangat dibutuhkan kerjasama semua stakeholder di sektor ketenagakerjaan, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, seluruh perangkat daerah baik dari desa hingga kota. Begitu juga dibutuhkan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi, Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS), Bursa Kerja Khusus dan Bursa Kerja Swasta, Anjungan SiapKerja, dan P3MI.
“Kita semua harus berkomitmen untuk bekerja sama mencegah dan mengurangi kasus PMI non prosedural dan kejahatan TPPO. Ke depan kita akan menerapkan teknologi sehingga bisa menimimalisirkan percaloan dalam rekrutmen tenaga kerja,” tutup Gede.(ris)