Politik Identitas Dan Ancaman Demokrasi Menjelang Kontestasi Pemilu 2024
Oleh: Jhoni Sutangga, S.Fil.I., M. Sos. (Jurnalis Radar Mandalika, Santri & Aktivis NU Lombok Tengah)
Pemilihan Umum adalah sebuah tatanan sistem demokrasi dalam menentukan pemimpin melalui sebuah proses pemilihan. Pemilu acapkali disebut sebagai wadah masyarakat dalam mengekspersikan politik mereka.
Pemilu merupakan proses memilih seseorang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu mulai dari Presiden, DPD, DPR RI, DPRD (daerah), Gubernur Bupati hingga Kepala Desa.
Pemilu di Indonesia akan berlangsung pada 14 Februari 2024 mendatang untuk memilih Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan kabupaten Kota. Momentum Pemilu, isu – isu liar mulai bermunculan. Isu tersebut tak jarang mengarah kepada menodai tatanan demokrasi kita salah satunya politik identitas. Politik Identitas isu cenderung dimainkan oleh kelompok-kelompok tertentu baik disengaja maupaun tidak tak terkecuali pada Pemilu 2024 mendatang.
Diakui atau tidak politik identitas acapkali mewarnai pesta rakyat. Kemunculan isu politik identitas menjadi satu kerawanan tersendiri bagi demokrasi kita. Pada Pemilu 2019 misalnya Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) harus turun gunung memotret keadaan. Mereka melakukan risetnya tentang “Mengelola Politik Identitas: Strategi Kontra-Naratif Melawan Politisasi Politik Identitas Dalam Pemilu 2019 Melalui Keterlibatan Tim Kampanye Kandidat” (.https://www.puskapol.ui.ac.id)
Beberapa temuan risetnya. Pertama, konteks kontestasi saat pilpres itu merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas yang terjadi selama Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat. Kedua, desain elektoral yang menetapkan adanya presidential threshold turut meningkatkan intensitas polarisasi politik. Ketiga, fenomena industri konsultan politik, influencer, dan buzzer dalam kampanye digital paslon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital. Keempat, keserantakan Pemilu 2019 menyebabkan lebih dominannya isu pilpres dan meminggirkan perhatian terhadap Pileg, baik DPR RI, DPD, maupun DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Kelima, media sebagai sumber informasi publik justru cenderung memiliki preferensi terhadap isu-isu non programatik dalam pemberitaannya.
Kondisi lainnya dapat dilihat dari temuan di tiga daerah. Narasi kampanye yang dominan di tingkat nasional justru meminggirkan isu-isu lokal dalam kampanye caleg dan parpol di daerah. TKD dan BPD yang umumnya hanya meneruskan konten dari pusat membuat framing isu tidak sesuai dengan konteks dan konstelasi politik di tingkat lokal. Hal ini membuat caleg di tingkat lokal berada dalam kondisi rumit karena terpecahnya konsentrasi parpol antara fokus terhadap pileg dan pilpres. Parpol dan caleg mengalami dilema untuk mengelola isu kampanye pilpres di dapil dengan kharakteristik pemilih yang beragam.