Mataram (Suara NTB) – Penjualan rumah komersil menunjukkan tanda-tanda yang positif. Setelah beberapa waktu lamanya penjualannya pasif. Sejak tahun 2022, trend penjualan rumah subsidi cukup menggembirakan bagi pengembang. Rumah-rumah komersil seharga Rp400 juta, hingga Rp1 miliar semakin laku.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Provinsi NTB, H. Heri Susanto di Mataram, Senin, 29 Mei 2023 mengatakan, daya beli masyarakat terlihat mengalami peningkatan dengan makin lakunya penjualan rumah komersil. “Uang orang itu ada sebenarnya. Dan rumah komersil ini dibeli secara cash. Walaupun tidak cash , pelunasan bertahap misalnya sampai enam bulan kedepan, kami maklumi itu,” ujarnya.
Meski secara data persentase penjualan rumah komersil ini tidak dikemukakan Heri Susanto, namun trennya sangat positif. Pengembang juga banyak bermain di rumah komersil ini. Heri Susanto menambahkan, berbeda halnya dengan pasar rumah subsidi yang pasarnya sangat potensial, namun terkendala syarat-syarat bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkannya.
“Kalau rumah subsidi, syaratnya yang berat. Bagi pengembang, maupun konsumen. Ada yang mengistilahkan syarat mendapatkan rumah subsidi masih lebih berat dibandingkan syarat masuk surga,” selorohnya. Syarat yang berat bagi pengembang dikemukakan pada izin-izin pembangunan kawasan. Izin-izin ini harus dipenuhi pengembang ini diantaranya izin pemerintah pusat dan izin pemerintah daerah.
“Untuk pengurusan IMB secara online, ini lebih mudah dan tidak ribet,” ungkapnya. Hanya saja ada beberapa izin di daerah yang sering dianggap berbenturan. Misalnya, yang masih ambigu dan abu-abu adalah soal lahan pertanian berkelanjutan. Menurut Heri Susanto, daerah tidak membuat izin yang terang benderang.
Heri Susanto menambahkan, persyaratan dari tahun ke tahun selalu ada penambahan, perubahan dan tidak diiringi oleh kebijakan yang bisa mempermudah MBR mendapatkannya, di satu sisi, persyaratan untuk perumahan semakin bertambah di satu sisi kebijakan masyarakat untuk mendapatkan dengan mudah tidak berkurang.
“Jadi harapan kita disesuaikan bagaimana caranya orang – orang atau masyarakat berpenghasilan rendah bisa mudah mengakses (rumah subsidi),” harapnya. Ceruk pasar MBR ini menurutnya masih sangat terbuka. Angka backlog rumah atau jumlah kebutuhan rumah di Provinsi NTB diatas Rp100 ribu rumah. Namun angka kebutuhan rumah ini berbanding terbalik dengan persetujuan bank untuk pembiayaan rumah subsidi sangat terbatas.
“Artinya masyarakat MBR ini masih banyak, tapi yang bankable hanya sedikit. Nah, diperlukan kebijakan khusus agar masyarakat lebih mudah mendapatkan rumah subsidi,” demikian Heri Susanto. (bul)