Tidak saja rasanya yang asin, harga garam juga belakangan disebut makin ‘’asin’’ (mahal). Lantaran kenaikannya yang terjadi terus menerus. Sekitar tiga bulan terakhir, garam yang sebelum-sebelumnya selalu dikeluhkan sangat rendah, tiba-tiba saja sudah menjadi cukup mahal. Kenapa?
PERUBAHAN iklim dituding sebagai salah satu biang mahalnya harga garam di Indonesia, termasuk di NTB. Intensitas hujan memang sulit diprediksi. Di musim kemarau sekalipun, hujan terjadi tiba-tiba. Hal itulah yang membuat produksi garam juga ikut terpengaruh. Apalagi kualitas produksi garam sangat tergantung pada cuaca. Sebab garam di NTB, atau umumnya di Indonesia masih diproduksi secara tradisional (konvensional).
Seperti pantauan Ekbis NTB di Pasar Percontohan Mandalika (Bertais), Kota Mataram. Harga garam di sini mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Seorang pedagang garam, Sairah mengatakan, sudah tiga bulan ini terjadi kenaikan harga garam. Akibat gagal panen petani garam, karena cuaca yang tidak menentu.
Sebelumnya, harga garam kasar antara Rp100 ribu, hingga Rp200 ribu per karung. Saat ini sudah naik berlipat-lipat menjadi Rp600 ribu per karung. Sementara garam halus naiknya menjadi Rp1,4 juta per karung.
Sairah merinci, sebelumnya harga garam antara Rp3 ribu sampai Rp5 ribu per kilogram di pasaran. Sekarang sudah naik menjadi Rp15 ribu per kilogram. “Orang yang buat (petani garam) ndak ada. Kebanyakan hasil produksi rusak,” ungkapnya.
Sementara Hamdun, seorang pengecer garam di Kabupaten Lombok Timur mengatakan, harga garam mengalami kenaikan. Selain karena kurangnya produksi akibat cuaca, ditambah lagi dengan masuknya pembeli dari luar, bahkan dari luar negeri.
“Dari pengusaha-pengusaha garamnya bilang, ada pembeli dari Singapura yang turun langsung mengambil garam di sini. Makanya agak susah kita mendapatkan pesanan,” ujarnya.
Informasi yang diterima, pengusaha luar negeri ini membeli dengan harga tinggi, sehingga pembeli-pembeli lokal menjadi kalah saing. “Mereka datang membeli dengan harga tinggi. Yang biasa tempat kita pesan jadi susah juga membeli garam dari petani karena harga sudah tinggi,” imbuhnya.
Beberapa bulan lalu, menurutnya tidak susah mendapatkan pesanan. Berapapun garam yang diminta. Garam yang dijualnya adalah garam produksi petani di wilayah Lombok Timur bagian selatan.
“Pas normal, berapapun kita minta selalu diberi. Sekarang cuma diberih jatah membeli hanya Rp30 ribu,” imbuhnya.
Ia menggambarkan, garam yang dikemas bungkusan Rp2.000 takarannya hanya dua genggam. Padahal sebelumnya dengan harga Rp3.000 saja sudah mendapat sekantong plastik kecil ukuran satu Kg.
“Garam yang kita beli Rp2.000 sebelumnya, masih lebih banyak dibanding garam yang kita beli dengan harga Rp4.000 sekarang,” katanya memberi perbandingan.
Harapannya, stok garam bisa tetap tersedia. Meskipun, harus beli mahal.
Pantauan harga Bidang Perdagangan Dalam Negeri (PDN) di Dinas Perdagangan Provinsi NTB, harga garam halus per Kg antara Rp10 ribu, hingga Rp12 ribu. Harga ini berlaku di tiga pasar percontohan di NTB, yaitu Pasar Mandalika, Pasar Pagesangan, dan Pasar Kebon Roek.
Naiknya harga garam juga berdampak pada harga produk yang mengandalkan garam. Es Podeng misalnya. Meski secara langsung tidak menggunakan garam dalam jumlah banyak pada produknya, proses untuk mengolahnya membutuhkan garam dalam jumlah banyak.
Seperti diakui salah satu penjual Es Podeng di Jalan Pariwisata Kota Mataram. Sebelum kenaikan harga garam, penjual ini selalu menjual dengan harga Rp5.000 per cup atau gelas. Namun, setelah harga garam mengalami kenaikan cukup signifikan belakangan ini, dirinya terpaksa menaikkan harga es podeng menjadi Rp6.000 per cup.
‘’Kita semula beli garam dengan harga murah, sekarang cukup mahal. Ada yang agak murah, tapi yang basah. Tapi itu tidak bisa kita pakai. Makanya, kita beli yang agak mahal, namun harga es kita naikkan,’’ ungkapnya. (bul)