GARAM di tingkat pasar mengalami peningkatan harga. Namun hal itu, ternyata tidak dinikmati oleh petani garam di Kabupaten Bima. Sebab harga belinya tetap saja setengah dari harga pasar.
Hal itu dikatakan Abakar, Petani garam asal Godo Desa Dadibou Kecamatan Woha Kabupaten Bima. Ia mengaku harga beli garam ke petani saat ini hanya Rp300 ribu per karung. Sementara informasinya, harga garam dijual di pasar mencapai Rp600 ribu per karung.
“Harga beli garam saat ini Rp300 ribu per satu karung putih,” ujarnya akhir pekan kemarin.
Ia mengakui harga jual garam tersebut dianggap meningkat yang terjadi sejak Bulan Maret 2023 lalu. Hanya saja, hasilnya masih jauh dari harapan, karena belum menguntungkan bagi para petani garam. “Harga Rp300 ribu ini belum bisa dikatakan untung. Baru dapat keuntungan, garam dijual Rp400 ribu atau Rp350 ribu per karung,” ujarnya.
Abakar mengatakan harga jual garam tergantung kondisi musim serta jumlah petani yang menggarap tambak. Jika musim hujan serta sedikit petani, harga garam akan semakin meningkat. “Kalau sebaliknya, jika musim panas dan banyaknya petani garam, harganya murah,” katanya.
Ia mengaku saat ini harga garam memang tinggi karena belum memasuki musim panen. Jika tiba musim panen nanti, harga jualnya bisa Rp50 ribu bahkan bisa Rp20 ribu perkarung. Harga tersebut tidak sebanding dengan biaya produksi, operasional, sewa buruh hingga beli karung.
“Pas Bulan September hingga Oktober nanti puncaknya panen garam, harganya bisa Rp50 ribu sampai Rp20 ribu per karung,” katanya.
Ia mengaku murahnya harga garam hasil produksi petani, juga dipengaruhi faktor lain, yakni dibeli dari tangan ke tangan (tengkulak) bukan dari pihak perusahaan atau konsumen garam. Sembari menambahkan produksi garam juga tergantung kondisi cuaca. Jika ada atau terik matahari, proses produksi hingga panen hanya membutuhkan waktu dua bulan lebih. “Garam yang diproduksi diambil langsung oleh tengkulak. Tidak dijual eceran,” katanya.
Beli dari Jawa Timur
Sejumlah perusahaan garam di Bima terpaksa membeli garam dari Jawa Timur, lantaran garam di wilayah setempat mengalami kelangkaan dalam beberapa bulan terakhir.
Salah satu perusahaan yang mendatangkan garam dari Jawa Timur itu yakni CV Sanolo Jaya Sentosa, produsen garam konsumsi beryodium yang berada di Desa Sanolo Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. “Saat ini garam Bima langka. Kita membeli atau mendatangkan dari Jawa Timur,” kata Direktur, CV Sanolo Jaya Sentosa, Muhammad.
Ia mengaku membeli garam dengan harga Rp350 ribu per karung ukuran 50 kilogram. Setelah itu, dikemas dengan plastik untuk kemudian dijual keliling kembali di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu serta dan Kota Bima menggunakan mobil pick up.
“Per plastiknya tidak sampai satu kilogram, kita jual Rp10 ribu. Sangat menguntungkan karena garam yang dibeli Rp350 ribu bisa dijual kembali hingga Rp700 ribu. Tapi garam tidak ada,” katanya.
Ia mengaku, kelangkaan garam terjadi pada bulan April hingga Mei ini. Hal itu disebabkan beberapa faktor, seperti pengaruh iklim, curah hujan yang tidak menentu hingga stok garam di gudang yang tidak ada.
“Terjadinya kelangkaan karena pengaruh perubahan iklim, curah hujan tinggi, hingga stok garam di gudang tidak ada,” katanya.
Ia mengaku garam Bima akan kembali stabil dan normal pada bulan Juni mendatang. Selain untuk memenuhi kebutuhan di dalam daerah, garam Bima juga akan dikirim ke Lombok, Kalimantan, Sulawesi Selatan hingga Sumba dan Labuhan Bajo Provinsi NTT.
“Saat ini stok garam yang ada diproduksi dengan plastik geo isolator. Sementara cara tradisional, akan panen Bulan 6 nanti,” pungkasnya. (uki)