Mataram (Suara NTB) – Pemprov NTB menawarkan pengelolaan kawasan industri turunan smelter kepada pihak swasta. Terutama pengusaha lokal NTB diharapkan ambil bagian. Saat ini pembangunan megaproyek smelter (pabrik) pemurnian hasil tambang di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat tengah berprogres. Pemerintah juga ikut menyiapkan kebutuhan untuk industri turunannya.
Kepala Dinas Perindustrian Provinsi NTB, Nuryanti, SE.,ME di Mataram, Jumat, 26 Mei 2023 kemarin menjelaskan, sebagaimana kewenangannya, industri kecil otoritasnya ada di kabupaten/kota, industri menengah ada di provinsi, dan industri besar kewenangannya dipegang pusat.
Smelter yang dibangun di Kabupaten Sumbawa Barat ini termasuk industri besar. Sehingga otoritasnya ada di pusat. Kendati demikian, Pemprov NTB sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat tetap memberikan masukan dan saran kepada perusahaan, dalam hal ini PT Amman Mineral Industri (AMIN).
“Kami tetap meminta perkembangan pembangunan smelter, dan ada beberapa check list yang harus diteliti. Dan sampai saat ini smelter sudah didukung penuh dengan investasi dari perbankan. Sehingga bisa berjalan. Disana sudah ada persiapan untuk air minum, listrik, untuk kawasan smelter maupun industri olahan sudah tersedia,” ujarnya.
Kawasan industri pendukung smelter, lanjut Nuryanti, sudah dipetakan. Namun sampai saat ini, pembangunan kawasan industri belum dilakukan. Karena pengelolaannya harus dilakukan secara khusus. Seperti misalnya, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, dikelola langsung oleh ITDC. “Kawasan industri turunan smelter ini belum (ada pengelola). Ndak boleh pemerintah masuk mengelola, kecuali misalnya BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), wah keren sih itu kalau misalnya bisa. Bisa juga koperasi, bisa juga perusahaan swasta. Tata ruangnya sudah ada,” katanya.
Pengelola kawasan inilah yang bertugas mencari investor dan mempromosikan kawasan industri turunan smelter untuk masuk. “Belum ada pengelolanya. Makanya kami usulkan, karena untuk pembebasan kawasan industri ini juga tidak mudah. Dalam tata ruangnya sudah diatur mana daerah smelter dan mana daerah kawasan industrinya. Dan kawasan industri minimal 50 hektar ini sudah ada lokasinya, tinggal pengelolanya yang belum ada masuk,” imbuhnya.
Lahan kawasan industri minimal 50 hektar ini adalah milik masyarakat. Tugas pengelola kawasan di dalamnya adalah membebaskannya. Namun, tambah kepala dinas, sebagaimana diusulkan, agar pembangunan kawasan industri ini bisa menjadi bagian dari masyarakat lokal. Caranya, agar pemilik lahan tidak dibayar. Melainkan hanya digunakan lahannya, dengan skema keuntungan tertentu.
“Agar tidak berat untuk pembebasan lahan, dan masyarakat pemilik lahan juga bisa sejahtera dengan hadirnya industri-industri di tanahnya. Artinya masyarakat memiliki saham. Itu kira dorong supaya proses pembebasan lahannya bisa cepat tuntas. Tinggal mencari investor untuk mengelola kawasan,” imbuhnya.
Dengan demikian, ring satu kawasan smelter aman. Karena ada rasa kepimilikan masyarakat terhadap industri pertambangan di daerah. selain keuntungan yang didapat secara otomatis setiap tahun adalah pembagian dividen dari lahan mereka yang dimanfaatkan sebagai kawasan industri.
Makanya sangat diharapkan, pembangunan kawasan industri turunan smelter ini tidak mesti langsung dengan 50 hektar. Bisa dengan 5 hektar terlebih dahulu. Sambil berjalan proses selanjutnya. “Kalau ada yang mau jadi pengelola kawasan industri turunan smelter, boleh kami fasilitasi. Pengusaha lokal juga bisa ambil bagian. Developer – developer ini misalnya, bisa kumpul. Kenapa nggak ikut membangun kawasan smelter juga,” demikian Nuryanti. (bul)