DISTRIBUSI istribusi guru masih yang belum merata menjadi persoalan tersendiri dalam kerumitan dunia pendidikan di NTB. Kondisi itu dinilai karena proses pengangkatan dan perpindahan guru sering kali tidak sesuai analisis kebutuhan guru (AKG).
Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), yang juga dari Serikat Guru Mataram, Mansur pada Kami, 25 Mei 2023 mengatakan, terkait pemerataan, mutasi, maupun penempatan guru baru selalu saja data formasi yang digunakan terlambat dibandingkan Surat Keputusan (SK) Penempatan Baru dan atau mutasi. Akibatnya ketika seorang guru menempati sekolah baru seringkali terkendala dalam ketersediaan jam mengajar.
Hal ini sering terjadi karena proses pengangkatan dan atau mutasi yang memakan waktu terlalu lama, sehingga ketika SK berlaku telah terjadi perubahan di satuan pendidikan. “Faktor lain semisal proses pengangkatan dan perpindahan yang tidak sesuai Analisis Kebutuhan Guru (AKG) maupun gaya “bypass” oknum yang masih kerap terjadi,” ungkap Mansur.
Menurutnya, langkah Bidang SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan wakil kurikulum semua SMA di NTB bisa sebagai langkah yang baik. Setidaknya untuk mendapatkan data terkini terkait AKG di sekolah.
“Tentu saja langkah ini akan berhasil jika tidak ada campur tangan pihak lain dalam pengaturan distribusi guru dan ketaatan guru untuk menerima penempatan baru,” tegas Mansur.
Permasalahan utama yang menjadikan penempatan guru menjadi rumit adalah ketersediaan jam mengajar dan linearitas mata pelajaran yang terbatas yang berhubungan dengan sertifikasi. Menurut Mansur, bagi guru yang belum memiliki sertifikat pendidikan tentu lebih mudah, tapi bagi yang sudah sertifikasi masalah ini seolah-olah menjadi sesuatu yang paling penting.
Mansur menjelaskan, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi tertentu. Sertifikat pendidik adalah bukti formal pengakuan guru sebagai tenaga profesional yang dibarengi peningkatan kesejahteraan, dan peningkatan kesejahteraan itulah yang diwujudkan dalam Tunjangan Profesi Pendidik.
Hal ini sesuai Pasal 8 Undang-Undang Guru dan Dosen, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Artinya bahwa seseorang tidak layak disebut guru sebelum memiliki sertifikat pendidik.
“Dari sinilah permasalahan dimulai, karena amanat undang-undang negara wajib melaksanakan sertifikasi kepada semua guru yang ada dalam jabatan maupun yang akan memasuki jabatan guru, dan pemberian sertifikat pendidik wajib dibarengi tunjangan profesi. Alasan klasik kemampuan keuangan negara selalu menjadi kambing hitam, bahwa uang sertifikasi tidak meningkatkan kompetensi guru turut menjadi alasan, dan peraturan Menteri pun dibuat untuk membatasi kuota dan seperangkat syarat lainnya yang bahkan menghambat pemberian tunjangan bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik,” beber Mansur.
Semestinya, kata Mansur, pemerintah fokus dalam menyelesaikan sertifikasi ini, karena dengan alasan apapun maka peningkatan kesejahteraan guru tentu akan membuat guru dapat bekerja dengan lebih baik. Sekaligus menarik minat calon guru yang lebih baik.
“Pengalaman model Portofolio dan PLPG 2007 sebenarnya sudah bagus, namun karena tidak seriusnya pemerintah hingga hampir 20 tahun amanat Undang-undang ini tidak terlaksana,” ujar Mansur.
Ia juga menyampaikan, permasalahan tunjangan profesi dengan syarat minimal 24 jam tatap muka ini pun semestinya ditinjau ulang. Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru justru membuat distribusi penempatan guru menjadi runyam. “Bahkan guru yang semestinya fokus mendidikan siswa harus mondar mandir berburu jam tambahan,” ungkap Mansur.
Pengaturan dan pengakuan tugas tambahan maupun tugas tambahan lain semisal kewajiban menjadi 18 jam, penambahan konversi nilai tugas tambahan, dan perluasan linearitas mata pelajaran dapat menjadi alternatif yang baik. “Dan ingat, itu semua harus tervalidasi dalam apodik. Jika demikian, maka hajat sertifikasi guna peningkatan kesejahteraan guru justru tidak menjadi penghambat pemeratan penempatan guru,” pungkas Mansur.
Sebelumnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB mengakui distribusi guru di NTB masih belum merata. Oleh karena itu, Dikbud NTB tengah melakukan pendataan dan pemetaan kebutuhan guru, sehingga nantinya akan dilakukan pendistribusian ulang guru.
Kepala Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Dikbud NTB, Nur Ahmad mengakui distribusi guru belum merata di semua daerah. Untuk mengatasi persoalan itu, pihaknya telah melakukan pemetaan kebutuhan guru bersama Cabang Dinas Dikbud NTB di kabupaten/kota.
“Iya (masih belum merata). Namun terus kami berupaya untuk melakukan pemerataan secara proporsional,” ungkap Nur Ahmad, kemarin.
Pihaknya dari Bidang GTK Dinas Dikbud NTB melaksanakan Koordinasi dengan Cabang Dinas Dikbud NTB Kabupaten/Kota untuk melakukan pendataan dan pemetaan kebutuhan guru tersebut. Bahkan, menurutnya, untuk jenjang SMA pihaknya melibatkan wakil kepala sekolah urusan kurikulum untuk pemetaan guru. (ron)