Bima (Suara NTB)- Belakangan penggunaan gadget tidak hanya karib di kalangan orang dewasa, tetapi juga di kalangan anak-anak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, secara total, ada 33,44% anak usia dini di Indonesia yang menggunakan gawai. Tentu ada sisi positifnya, namun tidak sedikit juga dampak negatifnya. Di antaranya, anak jadi malas berinteraksi dan melakukan aktivitas lainnya, seperti halnya membaca buku atau mengaji.
Hal inilah yang dirasakan Ahmad (30), pria kelahiran Raba Wawo, Bima, Nusa Tenggara Barak. Balik ke kampung setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya di Univeritas Islam Negeri Mataram, Ahmad tak menemukan suasana yang dirindukannya.
Anak-anak tak banyak yang suka membaca. Aktivitas belajar mengaji setelah Magrib pun mulai berkurang. Mereka disibukkan dengan gadget. Sebagian terjebak pada kenakalan remaja di tengah minimnya perhatian dan kontrol orang tua yang lebih sering berada di sawah atau ladang.
“Padahal, jumlah sarjana dan mahasiswa di kecamatan Wawo semakin banyak. Kehadiran kaum intelektual kampus (sarjana dan mahasiswa) seperti tidak berbanding lurus dengan kualitas SDM dan moralitas masyarakat Wawo,” tutur Ahmad.
Ahmad pun turun langsung ke lapangan, mencari tahu akar permasalahan. Ia menemui dan berdiskusi dengan banyak orang. Mulai dari guru-guru di sekolah, orang tua, tokoh masyarakat, pemuda, akademisi, hingga pemerintah desa dan kecamatan. Salah satu temuan penting dari penelusuran tersebut adalah, minimnya tingkat literasi dasar di kalangan anak usia SD.
“Padahal merekalah yang akan menentukan masa depan negeri kelak. Maka terpikir, harus ada satu gerakan sadar yang muncul dari kaum intelektual yaitu mahasiswa dan para sarjana. Terlebih pemerintah pun telah mencanangkan ‘Gerakan Literasi Nasional, (GLN), hal tersebut semakin menguatkan tekad saya dan teman-teman untuk melahirkan sebuah gerakan literasi di tengah masyarakat Wawo,” kisah Ahmad.
Maka pada 5 Agustus 2018, Komunitas Literasi Uma Lengge Mengajar lahir untuk menjawab tantangan yang dihadapi generasi muda Wawo saat itu. Bukan perkara mudah bagi Ahmad, mendedikasikan dirinya bergiat penuh di Uma Lengge berati ia harus meninggalkan profesinya sebagai seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Mataram. Berarti juga, ia harus menghadapi penentangan dari pihak keluarga, yang sedari awal lebih menginginkan Ahmad tetap menjadi seorang dosen.
Sejak didirikan, Ahmad dan relawan Uma Lengge Mengajar memfokuskan aktivitas mereka pada gerakan literasi sekolah dan masyarakat. Ahmad dan relawan Uma Lengge Mengajar memulai misi literasi mereka dari tempat tinggalnya, Desa Kombo, Kecamatan Wawo; sebuah desa di dataran tinggi Kabupaten Bima.
Ahmad dan Komunitas Uma Lengge Mengajar mengawali kiprahnya dengan membagi kegiatannya menjadi dua fokus utama yaitu Kegiatan internal khusus untuk pengurus, dan kegiatan fun literacy untuk anak-anak. Kegiatan internal berupa diskusi ilmiah dan bedah buku serta pelatihan bagi teman-teman relawan Uma Lengge Mengajar agar dapat menerapkan metode dan strategi pembelajaran literasi yang tepat di masyarakat.
Sedangkan kegiatan fun literacy untuk anak-anak berkolaborasi dengan lembaga pendidikan setempat. Kegiatan fun literacy dikonsepkan outdoor dimana anak-anak belajar sambil bermain game edukatif, ice breaking, baca buku, dan lain sebagainya yang diprogramkan di tiap sekolah maupun desa.
Bentuk lain dari kegiatan fun literacy adalah Perpustakaan Keliling. Ahmad dan relawan literasi Uma Lengge Mengajar membuat Perpustakaan Keliling untuk menjangkau dan merangkul lebih banyak lagi anak yang terlibat. Ahmad dan teman-temannya bergerilya dari desa ke desa, menjumpai anak-anak di tiap RT dan dusun, membawakan mereka buku bacaan, mendongengkan kisah, menghidupkan mimpi dan cita-cita.
Aktivitas Ahmad bersama komunitas Umma Lengge Mengajar ternyata menarik perhatian INOVASI NTB, sebuah program pendidikan yang berupaya mengidentifikasi dan mendukung perubahan dalam hal praktik pembelajaran, sistem, dan kebijakan pendidikan yang secara nyata mampu mempercepat peningkatan hasil belajar siswa di bidang literasi, numerasi dan keterampilan abad-21.
Pada tahun 2020, Ahmad bersama 14 orang relawan literasi Uma Lengge Mengajar diundang untuk mengikuti pelatihan oleh INOVASI. Dari pelatihan tersebutlah Ahmad dan kawan-kawan memliki kemampuan untuk melakukan diagnosa kemampuan literasi anak, pelevelan, perancangan metode dan strategi pembelajaran, penyiapan media yang sesuai, dan sebagainya.
Berbekal kemampuan selama pelatihan, melalui kegiatan fun literacy dan Perpustakaan Keliling, Ahmad mendata dan membagi kemampuan literasi anak-anak sesuai level masing-masing. Anak-anak yang bermasalah pada tiap levelnya akan dilakukan pendampingan khusus hingga mereka lancar membaca dan menulis.
Kini buah manis mulai dirasakan Ahmad dan kawan-kawan, di balik semua sinisme yang ia dapatkan, satu per satu apresiasi datang, mulai dari pemerintah desa, kecamatan, hingga Pemda Kabupaten Bima. Di desanya, Ahmad dan Uma Lengge Mengajar pun mulai banyak dipercaya orang untuk berkolaborasi dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Bagi Ahmad, pujian dan apresiasi adalah bonus dari kerja-kerja literasi yang mereka lakukan selama ini, bukan tujuan utama.
“Tanggung jawab utama untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan sejatinya ada di tangan kaum terdidik itu sendiri. Sebab itu, mari turun mengambil peran terbaik kita!” tuturnya.(*)