RENCANA Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RDTR Lombok Barat (Lobar) belum bisa dituntaskan, meski sudah memasuki jelang tahun terakhir pemerintahan Bupati Lobar H. Fauzan Khalid dan pasangannya Hj. Sumiatun. Sejauh ini RDTR Kecamatan yang dituntaskan mencakup beberapa desa, tidak secara total skup kecamatan.
Bupati Lobar H. Fauzan Khalid mengatakan menyangkut RTRW tidak otonom menjadi kewenangan Pemda, karena terkait dengan kewenangan kementerian. Yang sudah dibuat RDTR dan RTRW di Lobar, lanjut Bupati yakni Batulayar, kemudian kawasan Rinjani Barat mencakup 16 desa di wilayah Kecamatan Narmada dan Lingsar. Tahun ini sedang berproses, empat desa di Kecamatan Sekotong. “Dan kita juga ajukan Labuapi, Kediri serta Gerung,” katanya akhir pekan kemarin.
Kenapa diajukan per wilayah? Karena sekali lagi kata dia, tidak otonom menjadi kewenangan Pemda melainkan lebih banyak menyangkut kewenangan pusat. “Yang sudah selesai di NTB ini, kalau saya ndak salah ingat, baru Mataram, tahun ini dia selesai,”imbuh dia.
Ia menambahkan, pihak Pemda sebenernya mengutamakan RDTR Kota Gerung, namun kewenangan untuk menentukan titik itu ada di pusat.
Sementara itu, Sekda Lobar H Ilham mengatakan revisi perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum tuntas,karena keberadaan LSD dan non LSD yang masih menjadi perdebatan.
“Persoalan revisi perda RTRW itu masih belum tuntas. Keberadaan LSD dan non LSD ini masih jadi perbincangan,” kata dia.
Dalam hal ini, Pemda boleh merekomendasikan investasi masuk di areal yang ada dimiliki Pemda dan di areal mana yang tidak boleh direkomendasikan. Pasalnya, lanjut dia, lahan LSD dari Kementerian ATR 14 ribu hektar di Lobar. Bisa dibayangkan, kata dia, kalau semua lahan dijadikan LSD. Sebab kalau sudah ditetapkan jadi LSD, maka daerah itu tidak bisa terbangun. “Kalau kita sepakati 14 ribu hektar, maka habis, tidak bisa membangun, tidak ada ruang investasi membangun,” ujarnya.
Sementara Pemda Lobar ingin membangun kota, menyiapkan diri sebagai penyangga Kota Mataram dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, sehingga harus ada daerah-daerah yang terbangun berbagai infrastruktur. “Kalau 14 ribu hektar, akan habis, artinya Lobar tidak bisa dibangun lagi,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya mengusulkan 8 ribu hektar sebagai LSD. Namun lagi-lagi sudut pandang Pemda dengan pusat berbeda. Kalau di daerah sudut pandangnya tetap mempertahankan produk hasil pertanian, namun dengan ruang pembangunan yang masih memungkinkan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Lobar I Made Arthadana menambahkan, untuk LSD sendiri, mengacu SK awal seluas 14 ribu hektar, sehingga kalau itu tetap dipertahankan oleh pusat, maka Pemda tidak ada ruang untuk membangun dan investasi. Akhirnya pihak Pemda pun mengusulkan agar LSD itu diubah, menjadi 8.000 hektar hingga 10 ribu hektar. Sehingga ada ruang memangun sekitar 4.000 hektar lebih. Pemda mengusulkan di masing-masing kecamatan ada 200 hektar untuk membangun perkotaan kecamatan.
Namun kembali oleh pusat menekankan tidak boleh menggunakan lahan sawah, sehingga Pemda pun begitu kesulitan. Karena yang merah, yang boleh dibangun di luar LSD 1.000 hektar. Itu pun dari 1.000 itu tersebar di Lobar. “Dan setelah dicek sudah terpakai 600 hektar,” ujarnya. (her)