Fakta Sering Diputarbalikkan, Kepala Biro Hukum Jelaskan Penanganan Kasus Aset Pemprov di Gili Trawangan

0

Mataram (Suara NTB) – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB sekarang ini sedang melakukan penyidikan terhadap 11 perjanjian kerja sama pada aset milik Pemprov NTB di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Penyidikan yang dilakukan Kejati NTB menyebabkan beragam opini yang berkembang di masyarakat, sehingga menyebabkan banyak yang gagal paham.

Atas kondisi ini Kepala Biro Hukum Setda NTB Lalu Rudy Gunawan, S.H., M.H., mencoba meluruskan berbagai macam persepsi yang muncul terhadap penyidikan yang dilakukan Kejati NTB. Menurutnya,  penyidikan yang dilakukan Kejati NTB adalah berdasarkan laporan dari masyarakat terkait adanya  oknum yang  diduga memperjualbelikan lahan milik Pemprov NTB.

Namun,  fakta di lapangan justru berbeda dengan kejadian sebenarnya, yakni Pemprov NTB yang menjual. Sementara sekarang ini Hak Penguasan Lahan (HPL) tetap masih di Pemprov NTB dan  tercatat dalam inventaris daerah dan ini di bawah MCP KPK.

Sedangkan Kejati NTB melakukan penyidikan terhadap  oknum yang telah memperjualbelikan dan menyewakan lahan tersebut. Selain itu, untuk menghitung kerugian negara, Kejati menggandeng BPKP untuk menghitung kerugian negara.  Kejati  bukan menggandeng BPKP untuk menilai tanda tangan  Gubernur dalam perjanjian kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.

‘’BPKP bukan menilai tanda tangan Pak Gub, tapi nilai kerugiannya BPKP menghitung. Dan ini perkara yang disidik oleh Kejati. Untuk perjanjian yang sudah kita lakukan, kami konsultasikan dengan KPK. Beberapa kali kita ke Jakarta dan KPK datang ke NTB, ke Ruang Anggrek. Langsung kita paparkan semua di hadapan KPK dengan beberapa perbaikan,’’ terangnya pada wartawan di Kantor Gubernur NTB, Jumat, 17 Maret 2023.

Termasuk mengenai  Uang Wajib Tahunan atau kontribusi dari penyewa pada pemerintah daerah. Menurutnya, jika  mengikuti aturan yang sebenarnya, nilai aset Pemprov NTB seluas 75 hektar di Gili Trawangan berdasarkan penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebesar Rp3,1 triliun. Itu artinya dalam satu meter itu ada Rp3 juta kontribusi bagi daerah. Namun, jika itu kita terapkan pada masyarakat, tidak akan mampu. Sehingga dikonsultasikan dengan DJKN dan pemerintah daerah menggunakan kebijakan Perda menggunakan 25 ribu meter persegi.

‘’Ini kita sampaikan ke KPK, kondisi masyarakat sudah begini. Kalau kita pakai patokan dari DJKN akan memberatkan masyarakat. Kondisi ini sudah disampaikan ke Kementerian BPN/ATR, Kemendagri dan institusi berwenang lainnya. Jadi tidak sekonyong-konyong itu terjadi. Itu sudah kita paparkan semua, kita ekspose, kita gelar. Disepakati, oke itulah yang ditandatangani oleh Pak Gubernur,’’ tambahnya.

Pihaknya juga meminta terkait  UWT atau kontribusi tidak diputarbalikkan lagi, karena sudah ditangani Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (BPKAD). Dalam hal ini,  BPKAD menyusun dan mengajukan  usulan UWT ke Biro Hukum untuk mendapat persetujuan. Meski demikian,  setoran uang itu bukan ke BPKAD, tapi ke bank atau ke bendahara kas daerah yang ada di BPKAD. ‘’Tidak boleh ke perorangan secara langsung. Kalau ada kecurigaan atau oknum yang bermain, laporkan. Ada bukti serahkan ke kepolisian, kejaksaan atau KPK. Karena kami tetap rutin berkoordinasi dengan KPK,’’ tegasnya.

Pejabat Pemprov dari lembaga Adhyaksa ini menambahkan,  perjanjian yang dipermasalahkan hanya 11 padahal ada 230 lebih perjanjian antara pemerintah dengan masyarakat dan sudah diberikan HGB.  Menurutnya,  11 yang dipermasalahkan ini adalah bagian dari 230 perjanjian yang sudah disepakati. Namun, pihaknya heran 11 perjanjian ini yang dipermasalahkan.

‘’Ini bagian dari itu, kok dipermasalahkan juga? Masalahnya apa? Itu kepada asing/WNA, bukan. Kita menggunakan peraturan dari Mendagri Nomor 19 2016, PP 18 2021 terkait siapa yang boleh menandatangani perjanjian HGB, WNI, badan hukum Indonesia. Jadi bukan WNA-nya. Tapi perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. Bukan diberikan, bukan dijual, bukan. Dikerjasamakan dalam jangka waktu tertentu dengan pemberian HGB. HPL-nya tetap milik Pemprov, pemilik HGB hanya membayar UWT. Jadi tanah tidak diserahkan pada siapa-siapa, tapi tetap milik Pemprov,’’ terangnya.

Dalam hal ini, tambahnya, yang dilarang oleh KPK adalah oknum-oknum yang memperjualbelikan sebelumnya dan sedang disidik oleh Kejati. ‘’Itu tidak boleh masuk situ. Jadi kalau informasi yang benar itu, datang ke Biro Hukum,’’ pungkasnya. (ham)