Mataram (Suara NTB) – Penyidik Kejati NTB, terus mengintensifkan kordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB terkait penghitungan kerugian negara kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset di Gili Trawangan. “Kita masih diskusi dengan BPKP terkait unsur kerugian negaranya,” kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB, Ely Rahmawati, kepada wartawan, Selasa 14 Maret 2023.
Penanganan perkara lanjut Ely, tidak mudah sehingga masih terus dilakukan pendalaman lebih lanjut. Termasuk juga untuk potensi kerugian negaranya juga masih terus didalami. “Potensinya (kerugian negara) kami belum tahu, masih kami dalami,” sebutnya. Penyidik juga masih terus melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Pemeriksaan itu, lebih kapada penghitungan kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus pemanfaatan aset seluas 65 hektare itu. “Saat ini kami sedang memperdalam alat bukti untuk mencari nilai kerugian negara,” katanya.
Diketahui, kasus itu diusut setelah menerima laporan masyarakat yang mengarah dugaan pungutan liar (Pungli) terkait pemanfaatan Hak Pengelolaan (HPL). Awalnya aset seluas 65 hektar itu dikerjasamakan dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI). Pungli tersebut dilakukan sejak 1998 pasca adanya kesepakatan kontrak produksi antara Pemprov NTB dengan PT GTI seluas 65 hektare. Meski sudah dikerjasamakan muncul pengusaha mendirikan beberapa bangunan di atas lahan tersebut. Tanpa persetujuan dari PT GTI selaku pengelola lahan.
Terindikasi para pengusaha itu bisa mendirikan bangunan di atas lahan tersebut dengan menyetorkan sewa atau jual beli lahan ke oknum tertentu. Dari data yang dikantongi, bukti transaksi penyetoran uang berupa kwitansi disebutkan nominal uangnya. Harga sewa mulai dari Rp800 juta hingga Rp1 miliar per tahunnya. Aliran uang tersebut hanya dinikmati orang-orang tertentu. Tidak masuk ke kas daerah atau PT GTI yang selaku pemegang HPL. (ils)