Tanjung (Suara NTB) – Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Gili Tramena (Trawangan, Meno dan Air), Dr. Mawardi bersama tim kembali melakukan pengecekan secara langsung terhadap titik-titik aset Pemprov NTB di Gili Trawangan yang masih memerlukan penyelesaian. Total ada delapan titik yang dikunjungi pada Senin (13/3) kemarin.
Satu per satu aset Pemprov NTB dilakukan pengecekan oleh tim dengan menemui pihak yang menduduki lahan milik Pemda itu. Namun dari delapan titik yang dicek tersebut itu, hanya dua orang yang berhubungan langsung dengan aset Pemda. Selebihnya orang yang tercatat di dokumen lahan lebih banyak berada di luar daerah.
Kepala UPTD Gili Tramena Dr. Mawardi mengatakan, sebenarnya pihaknya ingin mengecek 15 perjanjian yang sudah diterbitkan oleh Pemprov NTB. Dari 15 perjanjian itu, 13 berbentuk yellow paper (perjanjian kerjasama yang sudah ditandatangani) dan dua masih berupa draf.
‘’ Ke 15 perjanjian itu sudah masuk SK dengan total yang sudah diterbitkan kerja sama itu sebanyak 224 kerja sama,’’ kata Mawardi kepada Suara NTB usai meninjau lahan Pemprov Senin, 13 Maret 2023.
Ia mengatakan, ada beberapa tantangan yang dihadapi tim UPTD dalam proses penertiban aset di Gili Trawangan. Misalnya komplain masyarakat itu karena yang seharusnya melakukan perjanjian kerja sama itu adalah masyarakat lokal yang sejak awal menempati lahan.
Pemprov NTB sendiri sepakat dengan hal itu. Nanti masyarakat yang berhubungan bisnis dengan penyewa sebelumnya.
“Namun yang jadi masalah kalau warga negara asing yang menyewa ke warga ini tak setuju karena dia mau langsung ke Pemprov. Ini yang harus kita tunda dulu kedua belah pihak, baik lokal maupun asingnya,’’ ujarnya.
Masalah yang ditemukan di lapangan juga yaitu terkait siapa yang pertama membangun di lahan milik Pemprov tersebut. Benang kusut ini yang harus diurai satu per satu oleh tim agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara umum, ada tiga kasus yang ditemukan tim di lahan Pemprov ini. Pertama ada warga yang murni tinggal di Gili Trawangan tanpa bekerjasama dengan orang asing.
Ada pula masyarakat yang tinggal di sini dan melakukan kerja sama usaha. Serta ada juga masyarakat yang menempati lahan Pemprov dengan cara ganti rugi ke masyarakat yang lain kemudian bekerjasama dengan orang asing.
“Jadi setiap objek lahan kita harus tahu detil. Dari siapa pihak pertama yang menempatinya. Data kita mengacu ke SPPT yang diterbitkan oleh Pemda KLU karena dia yang membayar PBB,” terang Mawardi.
Jumlah total entitas lahan Pemprov yang ditempati oleh warga di Gili Trawangan sebanyak 723 entitas. Baru 224 entitas yang sudah diterbitkan kerjasamanya dengan Pemprov NTB. Sisanya masih dalam proses.
Namun demikian, ada sejumlah warga yang mendiami lahan Pemprov tak ingin menandatangani kerjasama dengan Pemprov dengan sejumlah alasan. Alasan yang paling sering disampaikan yaitu karena isi perjanjian yang dinilai merugikan mereka. Mereka pun menginginkan diterbitkan SHM.
“Alasan lainnya menurut mereka, sewanya terlalu mahal. Namun kami sudah serahkan draf perjanjiannya untuk dirundingkan kembali. Poin mana yang menurut mereka memberatkan dan merugikan,” tambah Mawardi.
Terkait dengan harga sewa, acuan UPTD Tramena yaitu Perda 5/2018 tentang retribusi. Dimana, sewa tanah di Gili Trawangan dihargai Rp 25 ribu per meter per tahun. Namun acuan selanjutnya adalah zona-zona tertentu. Tentu harganya mengacu pada zona tersebut karena beda lokasi, beda pula pemanfaatan ekonominya.
“Ada perhitungan tertentu sesuai dengan hasil appraisal,” terangnya. Terkait dengan masalah lahan ini, sejumlah warga Gili Trawangan berencana akan kembali melakukan unjuk rasa di Kantor Gubernur NTB pada Rabu, 15 Februari 2023. Namun Mawardi mengharapkan agar mereka tak melakukan unjuk rasa, sebaiknya hearing untuk menemukan solusi.(ris)