KPK Sebut Sebaran Risiko Korupsi Berada di Lingkup Instansi Pemerintah

0
ASN dan kepala desa di KLU diatensi KPK, karena tak pernah melapor gratifikasi. (Suara NTB/ist)

Tanjung (Suara NTB) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menegaskan sebaran risiko korupsi berada di lingkup pemerintahan. Berdasarkan hasil survei tahun 2021 lalu, sebaran risiko korupsi antara 98 persen hingga 100 persen.

Direktorat Pemeriksa Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK RI, Muh. Indra Furqon, saat berlangsungnya sosialisasi, bimbingan teknis, dan monitoring dan evaluasi (Monev) terkait gratifikasi di kantor Bupati KLU, Kamis, 9 Maret 2023, memaparkan di antara sebaran risiko korupsi antara lain, penyalahgunaan fasilitas kantor sebesar 99 persen. Selain itu, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa sebesar 100 persen, korupsi dalam promosi/mutasi SDM sebesar 99 persen, intervensi (trading in influence) sebesar 99 persen, dan suap/gratifikasi sebesar 98 persen. “Sebaran risiko korupsi itu berada di instansi pemerintah,” ucap Indra.

Selain itu, Indra juga memaparkan jika masih banyak kabupaten di NTB yang sama sekali atau tidak pernah melaporkan adanya upaya gratifikasi dari pihak ketiga kepada pejabat instansi pemerintahan. Termasuk kabupaten yang tidak pernah melapor ada Lombok Utara.

Menurut Indra, peluang gratifikasi di lingkup instansi cukup terbuka. Pasalnya jenis gratifikasi cenderung tidak disadari, karena terlihat sepele. Contohnya kata dia, pemberian makanan dalam bentuk gorengan, atau durian, sudah termasuk dalam gratifikasi. “Di data kami, di NTB ini masih banyak kabupaten atau kota yang belum pernah lapor gratifikasi, salah satunya KLU,” tegas Indra.

Oleh karenanya, dalam pemaparan kemarin, materi yang disampaikan KPK di depan pejabat OPD dan Pemdes se KLU, menyoal gratifikasi dari perspektif logika, etika, agama dan hukum.

“Kami hadir untuk menyampaikan itu, mungkin saja teman-teman ASN di sini belum paham tentang gratifikasi,” katanya.

Indra menyambung, gratifikasi dilarang dalam sistem pemerintahan. Sedikit saja upaya tersebut berlaku dalam pelayanan publik, berdampak pada hancurnya citra pemerintahan karena hilangnya kepercayaan publik.

Menurut dia, mencegah tidak adanya gratifikasi diperlukan kesadaran dan kesungguhan seluruh ASN untuk menolak memberi atau menerima pemberian. Bahkan, ASN harusnya melaporkan ke KPK jika terdapat upaya tersebut. “Kalau ada hadiah seperti itu agar ditolak, jika perlu dilaporkan ke KPK,” tegasnya.

“Barang gratifikasi, nantinya akan diamankan KPK setelah ditetapkan sebagai barang negara yang nantinya akan dilelang. Ongkos kirim barang tersebut nantinya akan diganti oleh KPK,” tandasnya seraya berharap setelah sosialisasi akan ada laporan dari KLU. (ari)