Keberadaan sampah di Tiga Gili masih menjadi persoalan bagi Pemkab Lombok Utara (KLU). Dari 3 Gili, hanya Gili Trawangan yang dikelola melalui TPST (tempat pengelolaan sampah terpadu). Sedangkan di Gili Meno dan Gili Air, diangkut secara berkala menggunakan tongkang.
KSM GILI CARE, sebagai salah satu komunitas peduli sampah di Gili Air, telah berperan aktif membantu pemerintah daerah mereduksi volume sampah yang dihasilkan masyarakat dan pelaku usaha. Gili Care adalah ujung tombak manajemen pengendalian sampah di Gili. Sampah dihimpun dari pelanggan (rumah tangga dan tempat usaha) di seluruh Gili Air, kemudian diangkut dengan dongol (Cidomo tanpa kap) menuju titik penjemputan di pelabuhan Gili Air.
“Operasional pengendalian sampah di Gili Air tidak sama dengan di darat maupun Gili Trawangan. KSM Gili Care harus menyewa 3 unit Cidomo berikut kusir senilai Rp 2,5 juta per unit,” sebut Taufik. Selain biaya itu, KSM juga harus menyewa 1 unit kendaraan roda 3 dengan biaya sebesar Rp4 juta per bulan. Langkah sewa ini dilakukan karena KSM tidak memperoleh dukungan prasarana angkutan dari pemerintah daerah maupun Pemdes Gili Indah.
“Kalau operasional berupa honor Pengurus dan anggota KSM sudah pasti ada, dan itu sifatnya dibayar bulanan,” sambungnya. Seluruh biaya itu, ditutupi dari pungutan retribusi yang ditetapkan pemerintah. Selaku mitra Dinas Lingkungan Hidup (DLH) KLU, KSM mendapat wewenang untuk menarik retribusi sesuai besaran yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagai turunan Peraturan Daerah.
Saat ini, sebut Taufik, jumlah pelanggan KSM Gili Care hanya 100-an orang/lembaga. Dari pelanggan itu, ia mengenaskan tidak ada setoran yang besar. Dibandingkan dengan status pulau sebagai destinasi wisata dengan motivasi bisnis bernilai dolar di Gili, pada pengurus KSM tidak mendapat nominal yang memadai.
Di Gili Air, katanya, tidak ada pelanggan hotel berbintang seperti di Gili Trawangan. Pelanggan masih dominan Kelompok rumah tangga dan pedagang lokal dengan tarif kewajiban Rp 15 ribu per bulan. “Bisa dikatakan kami rugi waktu. Tapi kami tidak melihat finansial. Kami mau kerja karena ingin melihat Gili ini bersih dari sampah, itu saja,” tegasnya.
KSM juga masih harus “melayani” Pemkab KLU selaku pemilik regulasi retribusi. Di mana, KSM memberikan retribusi kepada Pemkab sesuai kesepakatan saat berlakunya kemitraan. “Sebagai bentuk komitmen kami, beberapa waktu lalu kami bersedia menambah retribusi dari Rp8 juta menjadi Rp10 juta per bulan,” imbuhnya.
Komitmen itu dilandasi oleh keinginan KSM agar Pemkab juga merespon cepat proses pelayanan persampahan. Sebagaimana proses angkutan sampah, berlaku 5 hari – dari Senin sampai Jumat. “Harapan kami, staf Dinas juga merespon cepat proses angkutan. Terutama di hari Senin karena tumpukan sampah selama 2 hari cukup banyak,” tandasnya. (ari)