Pernikahan Anak di NTB Terus Meningkat, Dikbud Larang Siswa Pacaran di Sekolah

0

Mataram (Suara NTB) –  Save the Children Indonesia menemukan kecenderungan adanya peningkatan jumlah kejadian (prevalansi) perkawinan anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus meningkat. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB menyadari kondisi tersebut. Dikbud NTB sudah menyiapkan program preventif dan kuratif, salah satu tindakan preventif yaitu penerapan sekolah ramah anak (SRA), salah satunya melarang siswa pacaran.

Kepala Dinas Dikbud NTB, Dr. H. Aidy Furqan, M.Pd., ditemui di ruang kerjanya, Senin 30 Januari 2023 mengatakan, pihaknya menyadari fakta tingginya angka pernikahan anak. Menurutnya, ketika siswa berada di luar zona sekolah, pihaknya kesulitan mengontrolnya. Dengan melihat perkembangan anak yang menikah dan terpaksa menikah, pihaknya mengeluarkan program sekolah ramah anak. “Salah satu penekanannya saya adalah tidak boleh pacaran di sekolah,” ungkap Aidy.

Namun demikian, Aidy mengakui jika sesama anak sekolah mungkin bisa ditahan untuk tidak pacaran, tetapi di luar sekolah tidak terpantau. Ia menyayangkan adanya pernikahan anak.

Dari data dispensasi perkawinan Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTB tahun 2019 terdapat sebanyak 311 permohonan dan di tahun 2020 sebanyak 803 permohonan. Terdapat kenaikan 492 permohonan dispensasi perkawinan.

Data itu menunjukkan rata-rata, ada tambahan satu atau dua orang anak yang dinikahkan setiap hari dalam kurun waktu 12 bulan di tingkat provinsi. Angka ini pun belum termasuk praktik pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu kampung yang tidak terdata dengan baik.

Penelitian kualitatif Save the Children Indonesia mengenai perkawinan anak, pernikahan dini dan kawin paksa (PAPDKP) dilakukan di 4 kabupaten yaitu Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah. Sebanyak 38% dari 492 permohonan dispensasi perkawinan merupakan kompilasi data dari tiga kabupaten yaitu Lombok Utara, Lombok Tengah and Lombok Timur, dengan angka tertinggi berada di Lombok Tengah.

Aidy menyarangkan orang tua perlu melakukan pengawalan dan pendampingan kepada anak. “Kalau orang tua sangat peduli dengan anaknya pasti tercegah (pernikahan anak). Misalnya anak terlambat pulang, ditanya, ditelepon, disuruh pulang. Kadang anak tidak pulang, dibiarkan, ini bablas tidak terkontrol,” ujar Aidy.

Selain itu, pihaknya bersama DP3AP2KB NTB dan Dharma Wanita Dikbud NTB melakukan sosialisasi pencegahan usia pernikahan dini. “Siswa diarahkan sekolah dulu, kuliah dulu, baru pikir nikah. Namun, kondisi itu tidak terlepas dari dampak kondisi lingkungan kita, apakah pengaruh media sosial, pengaruh pendidikan orang tuanya, dan lainnya,” ujar Aidy.

Sementara untuk strategi kuratif atau pengobatan, Aidy menjelaskan pihaknya menyiapkan Sekolah Terbuka. Sekolah terbuka diperuntukkan bagi anak yang terpaksa putus sekolah karena pernikahan dini.

“Kalau terjadi pernikahan dini, maka anak kita tidak boleh putus sekolah, opsinya adalah kuratif, bentuknya sekolah terbuka. Banyak anak kita yang pernikahan dini masuk di sekolah terbuka. Ini tanpa bermaksud saya mendukung pernikahan dini. Namun, kalau sudah terjadi di masyarakat, tidak bsa dihindari harus kita carikan solusi, karena pernikahan dini dan putus sekolah memberi pengaruh terhadap angka rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah,” pungkas Aidy.

Sebelumnya, Chief Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia, Troy Pantouw mengatakan, perkawinan anak sangat berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi yang tentunya akan berujung pada munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural. Tak hanya itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga juga marak terjadi pada pasangan muda atau pasangan yang menikah diusia anak, dan tak sedikit dampak  terburuk dalam berbagai kasus adalah meninggal dunia.

“Pemaksaan perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran hak anak. Kasus perkawinan anak di Provinsi NTB ibarat ‘gunung es’ di mana data yang nampak di permukaan didasarkan pada permohonan dispensasi kawin, sedangkan data nikah siri dan perkawinan di bawah tangan tidak ditemukan,” tegas Troy Pantouw. (ron)