Mataram (Suara NTB) – M. Tayeb mantanKepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (PTPH) Kabupaten Bima bersama Muhammad dan Nur Mayangsari terdakwa kasus dugaan korupsi senilai Rp5,1 miliar mulai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin 30 januari 2023.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, mereka didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
‘’Terdakwa tidak menjalankan tugas sebagai pejabat pembuat komitmen sesuai petunjuk pelaksana kegiatan sehingga muncul kerugian Rp5,1 miliar dari total anggaran Rp14,4 miliar,’’ kata Sigit Mukarram mewakili Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan M. Tayeb di hadapan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Hariadi.
Pengadaan saprodi bermasalah setelah dalam pemesanan tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Total penerima bantuan itu sebanyak 241 kelompok tani dengan jumlah anggaran Rp14,4 miliar. “Rinciannya Rp8,9 miliar untuk 158 poktan dengan luas sawah 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas 2.780 hektare,” sebutnya.
Untuk merealisasikan pengadaan saprodi tersebut, Dinas PTPH menunjuk CV Mitra Agro Santosa seperti benih padi, pupuk, dan pestisida. Namun dalam pelaksanaan tidak semua item tersebut bisa dipenuhi oleh CV Mitra Agro Santosa, sehingga kekurangan tersebut berupa pupuk diambil dari pengusaha lokal. “Ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal,” sebutnya.
Penunjukan CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur juga sempat dipertanyakan terdakwa lainnya Muhammad dan Nur Mayangsari. Tetapi M. Tayeb meminta mereka untuk tetap bekerja meski tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. “Laksanakan saja sesuai dengan apa yang saya perintahkan, karena itu kolega saya (CV Mitra Agro Santosa),” jelasnya.
Nur Mayangsari sebagai bawahan dari Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Namun jumlah tersebut masih kurang, sehingga terdakwa menarik uang dari poktan yang sebelumnya menerima bantuan tersebut. “Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan,’’ katanya.
Usai dakwaan dibacakan, tiga terdakwa melalui penasihat hukum masing-masing menyatakan untuk mengajukan eksepsi. Hakim mendengar hal tersebut kemudian menutup sidang dengan menyatakan sidang ditunda hingga Senin 6 Februari 2023 dengan agenda pembacaan eksepsi dari masing-masing terdakwa.
Diketahui pada tahun 2016 Pemkab Bima mendapat program cetak sawah baru dan bantuan saprodi yang bersumber dari APBN. Kabupaten Bima mendapat kucuran dana Rp14,4 miliar untuk 241 kelompok tani. Rinciannya 83 kelompok tani mendapat Rp5,6 miliar dan 158 poktan Rp8,9 miliar.
Dana tersebut dicairkan dalam dua tahap yakni pertama sebesar Rp70 persen Rp10,1 miliar. Sedangkan di tahap kedua sebesar 30 persen atau senilai Rp4,1 miliar. Namun dana bantuan itu dicairkan kepada 241 kelompok tani hanya Rp9,3 miliar. Akibatnya muncul kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar berdasarkan hasil audit BPKP Perwakilan NTB dari total angaran Rp14,4 miliar. (ils)