Mataram (Suara NTB) – Pemprov NTB bersama dengan DPRD NTB sedang berupaya merampungkan Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merupakan perubahan dari Perda RTRW No 3/2010. Pada Selasa, 24 Januari 2023, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (Dislutkan) NTB Muslim, ST.,M.Si bersama dengan Pansus I yang membahas Raperda RTRW melakukan pertemuan dengan Bappeda dan DPRD Jawa Barat (Jabar).
Kepada Suara NTB, Kepala Dislutkan NTB Muslim mengatakan, pasca lahirnya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, terbitlah Perppu No 2/2022. Dari regulasi tersebut ada turunan regulasi berupa PP 21/2021 tentang Penataan Ruang. Artinya antara tata ruang darat dengan tata ruang laut diperintahkan untuk digabung dalam satu Peraturan Daerah (Perda), sehingga Perda RTRW NTB nantinya akan memuat integrasi ruang darat dan laut.
“Jadi dua Matra, laut dan darat dijadikan satu Perda. Substansinya yaitu bagaimana melakukan akselerasi antara pengguna ruang di darat dan di laut itu agar tidak berpotensi menimbulkan gesekan hukum atau gesekan pemanfaatan ruang,” kata Muslim, Selasa, 24 Januari 2023.
Muslim mengatakan, perangkat aturan ini relatif baru, sehingga mekanisme untuk menjelaskannya betul-betul harus mencerminkan proses pemanfaatan ruang, termasuk untuk investasi agar kedepannya lebih pasti. “Insya Allah sebentar lagi rampung Raperda perubahan RTRW ini,” terangnya.
Ia mengatakan, alasan DPRD NTB bersama pihaknya melakukan studi tiru di Provinsi Jabar karena provinsi ini menjadi salah satu daerah yang sudah menuntaskan Perda RWRW-nya pasca lahirnya UU Citpa Kerja.
“Jadi di seluruh Indonesia, baru tiga provinsi yang sudah tuntas yaitu Jabar, Sulawesi Selatan dan Papua. Jadi kita melakukan studi komparasi,” katanya.
Salah satu hal yang menjadi topik dikusi dengan Pemprov Jabar yaitu bagaimana mengintegrasikan wilayah sempadan pantai dalam RTRW Provinsi. Sebab dalam Perpres No 51/2016 tentang Sempadan Pantai, pengaturannya menjadi kewenangan Pemda kabupaten/kota.
“Apakah dibuatkan ruangnya di dalam RTRW atau hanya klausul yang memerintahkan lebih lanjut kepada kabupaten/kota dalam muatan substansi kerangka pikir dari Raperda itu sendiri,” ujarnya.
Hal lain yang menjadi pembahasan yaitu masalah investasi di tengah proses pembahasan Raperda RTRW itu. Sebab akan menjadi sebuah persoalan jika investasi masuk ke daerah, sementara tata ruang belum selesai dibahas.
Terkait dengan hal ini, Pemprov Jabar memiliki skema untuk mensiasati kondisi tersebut, yaitu dengan melahirkan sebuah Peraturan Gubernur (Pergub). Namun sebenarnya Perda RTRW dan RZWP3K yang lama boleh menjadi acuan sepanjang kegiatan yang dimohonkan itu sudah terakomodir dalam dua regulasi tersebut.
“Namun jika tak terakomodir di dua regulasi tadi, perlu juga ada kepastian hukum,” ujarnya.
Muslim mengatakan, yang perlu diperjelas juga dalam regulasi yaitu bagaimana mengintegrasikan Raperda RTRW dengan PP No 5/2021 tentang Pelayanan Perizinan Terintegrasi Berbasis Risiko. Artinya jangan sampai Perda RTRW ini sudah ditetapkan namun belum bisa diimplementasikan sesuai dengan ketentuan PP tersebut.
“RTRW itu ada turunannya untuk kabupaten/kota. Kalau RZWP3K itu di pemerintah provinsi. Itu hal yang menarik, sehingga proses pembahasan substansi materinya harus mencerminkan tingkat kebutuhan 20 tahun yang akan datang,” tutupnya.(ris)