Mataram (Suara NTB) – Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Kota Mataram masih dilematis. Pemerintah menganggap lahan pertanian bukan sumber pendapatan asli daerah. Ruang investasi harus dibuka di lahan tersebut, sehingga mengeliminir masalah sosial. Pemerintah pusat diminta melonggarkan ketersediaan lahan pertanian.
Walikota Mataram H. Mohan Roliskana memiliki komitmen mempermudah pelayanan perizinan dengan cara jemput bola ke fasilitas publik di Kota Mataram. Kemudahan pelayanan perizinan tentunya tetap menjaga regulasi berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Regulasi berkaitan dengan rencana tata ruang wilayah serta batas-batas pemanfaatan sudah diatur.
Meski demikian, ia berharap pemerintah pusat melonggarkan aturan berkaitan dengan ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. “Aturan sudah ada dan batas-batas pemanfaatannya ruang sudah ada dan harus bisa dibuka dan mana yang tidak boleh harus jelas,” kata Walikota dikonfirmasi akhir pekan kemarin.
Permintaan untuk melonggarkan ketersediaan LP2B karena lahan di Kota Mataram sangat terbatas, yakni 61,3 kilometer. Sebagai ibukota provinsi telah menjadi konsentrasi dimana aktivitas ekonomi, pendidikan, perdagangan, perkantoran dan lain sebagainya bergerak. Semakin padatnya aktivitas itu diharapkan agar ruang tadinya dijadikan LP2B, agak sedikit ruang bisa dimanfaatkan menjadi tempat dibangun investasi.
Walikota berdalih bahwa sumber pendapatan dari Kota Mataram bukan penghasil pertanian. Lahan di setiap sudut kota ini dimanfaatkan secara maksimal untuk bisa dibuat ruang investasi. Jika berbicara dampak pengangguran dan kemiskinan, maka terbukanya ruang investasi sebagai salah satu pintu untuk mengeliminir adalah permasalahan sosial tersebut. “Kota ini sumber penghasilnya bukan dari lahan pertanian. Tentu lahan setiap kota ini dimanfaatkan maksimal untuk bisa membuat ruang investasi,” tegasnya.
Komitmen secara politis tetap menjaga ruang terbuka hijau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, adanya aturan LP2B menjadi isu yang akan berdampak pada rencana investasi di Kota Mataram. Pemkot Mataram lanjutnya, telah memasang plang peringatan di beberapa kawasan pertanian yang tidak boleh dibangun. Hal ini sebagai bentuk mengingatkan masyarakat terhadap keberadaan ruang terbuka hijau.
Lahan pertanian di tahun 2021 sebelumnya 1.513 hektar,mengalami penyusutan menjadi 1.509 hektar di tahun 2022. Sementara, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah yang mengatur lahan pangan pertanian berkelanjutan mencapai 509 hektar.
Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mataram Miftahurrahman dikonfirmasi pekan kemarin menyampaikan, hasil dari Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) Republik Indonesia telah memutuskan lahan sawah dilindungi di Kota Mataram, seluas 800 hektar termasuk ruang terbuka hijau.
Khusus kawasan pengembangan pertanian berkelanjutan atau sebelumnya disebut LP2B 480 hektar dari sebelumnya 509 hektar. “Secara total memang 800 hektar itu plus dengan RTH juga dimasukkan,” terangnya.
Alih fungsi lahan ini disebabkan kebutuhan masyarakat tinggi terhadap pembangunan secara pribadi. Pemerintah tidak bisa menghalangi masyarakat untuk membangun pemukiman sesuai keinginan karena merupakan lahan milik pribadi. Namun demikian, pemerintah kata Miftah,memiliki kewajiban untuk mengingatkan masyarakat agar tidak membangun di kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona hijau atau kawasan yang tidak boleh dibangun.
Pelanggaran itu memiliki konsekuensi terhadap dikenakan sanksi administrasi sampai pembongkaran bangunan. “Iya, memang tidak bisa kita menghalangi masyarakat untuk membangun,tetapi menjadi kewajiban pemerintah untuk mengingatkan,” ujarnya.
Pihaknya memasang plank peringatan sebagai cara pemerintah mensosialisasikan sekaligus mengingatkan masyarakat kawasan zona hijau atau tidak bisa dibangun. Pemasangan plank peringatan itu difokuskan di kawasan Lingkar Selatan karena banyak termasuk zona hijau. Khusus di pemukiman juga masuk zona hijau secara bertahap akan dipasang tersebut sebagai bentuk pengendalian pada masyarakat agar tidak membangun dan mentaati pola tata ruang. (cem)