Bima (Suara NTB) – Akademisi Universitas Muhammadiyah Bima (UMB), Dr. Taufik Firmanto MH, angkat bisa terkait Kepala Desa (Kades) yang ingin atau meminta perpanjangan masa jabatan dari 6 menjadi 9 tahun.
“Agak insecure dengan permintaan Kades ini. Sebagai pegiat hukum tata negara, saya mencium ada aroma pelanggaran konstitusi,” katanya kepada Suara NTB, Jumat, 20 Januari 2023.
Ia bahkan menilai permintaan itu juga sifatnya tabu dalam penyelenggaraan negara hukum konstitusional seperti Indonesia. Sebab, kata dia, dasar konstitusi sebagai rambu kehidupan bernegara dan mengadopsi semangat pembatasan kekuasaan.
Hal ini lanjut dia, berkaitan dengan hukum besi kekuasaan. Karena seseorang yang diberi kuasa cenderung akan berperilaku otoriter cenderung ke arah perilaku koruptif untuk memperbesar kuasa.
“Ini juga terindikasi menyimpang dari demokrasi ke arah oligarki. Ada gerakan besar terorganisir yang mengarah pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar melindungi kekuasaan mereka sendiri,” ujarnya.
Ia menjelaskan secara ideal pembatasan 6 tahun masa jabatan Kades merupakan perwujudan penyelenggaraan prinsip demokrasi sekaligus merupakan semangat pembatasan yang dikehendaki UUD RI Tahun 1945. Hal itu bisa dicontoh dari adanya pembatasan dan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI, Kepala daerah (Gubernur/ Bupati/ Walikota).
“Penyimpangan atas prinsip pembatasan masa jabatan Kades merupakan penyimpangan terhadap amanat konstitusi,” katanya.
Disamping itu, Ia menilai gerakan unjuk rasa para Kades yang meminta perpanjangan masa jabatan tidak termasuk sebagai kebebasan menyampaikan pendapat dalam demokrasi. Sebab, kebebasan berpendapat konteksnya adalah hak rakyat. Sementara tuntutan Kades tidak masuk ranah memperjuangkan aspirasi rakyat.
“Kades adalah bagian dari penyelenggara negara, pemerintah yang melayani rakyat. Lagi pula issue perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun merupukan issue elitis, bukan suatu issue yang berkaitan dengan kebutuhan dan kehendak rakyat,” katanya.
Selain itu, Ia menilai perpanjangan masa jabatan juga tidak perlu. Alasannya terkesan absurd dan bias kepentingan, karena hanya persaingan politik. Mestinya hal itu dapat diatasi dengan semangat kebersamaan dan gotong royong, pendidikan politik, perbaikan kultur demokrasi, dan pemenuhan hak-hak masyarakat desa.
“Alasan memperpanjang masa jabatan Kades, juga menunjukkan cara pikir egosentris jabatan, kenapa alasannya bukan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Secara normatif pengaturan mengenai masa jabatan Kades secara tegas telah diatur dalam Pasal 39 momor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni Kades memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
“Dari ketentuan yang ada, seorang Kades dapat menjabat maksimal selama 18 tahun. Nah, Ketika masa jabatan menjadi 9 tahun, maka Kades akan dapat menjabat 27 tahun, tentu riskan berpotensi membentuk watak otoritarian,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum UMB ini menyarankan agar Kades fokus saja bekerja untuk masyarakatnya. Jika kinerja baik, tentu masyarakat akan memberikan reward naik kelas pada kontestasi politik yang lebih luas. Tidak harus menggelar demo dengan pergi jauh ke Jakarta.
“Kades adalah aparat Pemerintah. Mestinya jika punya aspirasi bisa disampaikan dengan cara-cara yang lebih bermartabat, bukan melalui unjuk rasa,” pungkasnya. (uki)