Giri Menang (Suara NTB) – Berdasarkan data Tim Nasional Penanggulangan Percepatan Kemiskinan (TNP2K) jumlah kemiskinan ekstrem di Lombok Barat (Lobar) mencapai 13 ribu jiwa. Jumlah ini berkurang sekitar 12 ribu jiwa dari data penduduk miskin ekstrem sebelumnya sekitar 25 ribu jiwa. Penurunan ini disebabkan perubahan standar pengeluaran masyarakat. Pihak Pemda Lobar telah melakukan intervensi program dan pelaksanaannya diawasi oleh BPKP.
Kepala Bappeda Lobar H. Akhmad Saikhu melalui Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Ekonomi Yulinda Irmayani, S.T., menjelaskan, pihaknya sudah mendapatkan data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE) terkait kemiskinan ekstrem dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Untuk mendapatkan data ini cukup sulit, karena prosedurnya harus ada surat dari bupati dan pengesahan. Mengacu data TNP2K, jumlah kemiskinan makro mencapai 110 ribu Jiwa, itu masuk desil 1. Sedangkan data P3KE, kemiskinan makro 105 ribu jiwa. “Kemudian untuk data kemiskinan ekstrem sebelumnya 25 ribu jiwa, kemudian rilis data terbaru jumlah menurun menjadi 13 ribu jiwa,” terangnya, Selasa (29/11).
Penghitungan mengacu pada standar World Bank, di mana yang dihitung standar pengeluaran 1,9 Dolar Amerika kalau dirupiahkan setara Rp11 ribu lebih per kapita per orang per hari. Namun itu diturunkan dari Rp11 ribu lebih menjadi Rp10 ribu, sehingga itu berpengaruh terhadap jumlah penduduk ekstrem. Sebab sesuai target pemerintah pusat, kemiskinan ekstrem bisa nol persen pada tahun 2024. Atas dasar data inilah yang digunakan ke OPD untuk menyusun program intervensi. Namun pihaknya belum bisa turun, karena kendala anggaran.
Untuk penanganan kemiskinan ekstrem ini pihak Pemda sudah melakukan intervensi. Penanganan ini tersebar di OPD-OPD, seperti Dinas Koperasi, Dinas Sosial, Disperindag dan OPD lainnya. Program intervensi ini berasal dari berbagai sumber anggaran, seperti DBHCHT dan APBD. Program ini, jelas dia, sedang dirangkum untuk diserahkan ke BPKP.
“Karena penanganan kemiskinan ekstrem, mulai intervensi terkait by name by address (BNBA), tepat sasaran atau tidak? Itu kami diawasi oleh BPKP,” terang dia.
Pelaksanaan program ini lah yang diawasi BPKP. Itu yang dialokasikan 2 persen dari APBD atau 4 miliar. “Itu termasuk program intervensi,” ujarnya.
Pihaknya pun sudah mendampingi BPKP turun mengkroscek data di lapangan. Penerima bantuan diambil sampel 10 orang masing-masing desa. Semua sisi dicek, baik dari sisi pendapatan, kondisi rumah. ‘’Temuan ini perlu jadi perhatian ke depan, terutama menyangkut sasaran bantuan ini. Karena data kemiskinan ekstrem perlu di-update, dengan nengecek kembali ke desa, dinas terkait dan fasilitator,’’ ujarnya. (her)