Kota Bima (Suara NTB) – Warga yang memiliki rumah pinggir atau bantaran sungai Padolo dan Melayu Kota Bima satu persatu mulai memprotes rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bima yang akan melakukan pembongkaran untuk proyek normalisasi.
Sebelumnya warga Kelurahan Dara dan Paruga yang bermukim di sepanjang bantaran sungai Padolo menolak pembongkaran. Kini penolakan serupa juga dilakukan oleh warga Lingkungan Ranggo Kelurahan Nae yang tinggal di pinggiran sungai Melayu.
“Kami tolak pembongkaran rumah karena tidak ingin pindah ke tempat relokasi. Disini kami sudah nyaman,” kata seorang warga bernama Astri Yulian, kepada wartawan Selasa, 8 November 2022.
Selain nyaman karena sudah lama tinggal di pinggir bantaran sungai, Ia tidak ingin pindah ke tempat relokasi karena kondisi perumahan jauh dari pusat ekonomi seperti pasar, dan sarana pendidikan (sekolah). “Di tempat relokasi tidak ada pasar dan sekolah. Jadinya kami memilih bertahan,” katanya.
Warga lain, Hadijah meminta Pemkot Bima untuk tidak membongkar rumahnya. Pasalnya hingga saat ini dirinya belum mendapatkan rumah pengganti. “Kalau rumah dibongkar, saya harus tinggal dimana karena sampai sekarang belum ada ganti rugi,” katanya.
Selain itu, Ia juga menantang Walikota Bima untuk turun ke lokasi pembongkaran rumah. Sebab Ia bersama warga lainnya ingin menjelaskan dan menyampaikan keluh kesah serta harapan.
“Kami ingin sekali bertemu Walikota untuk menyampaikan keluh kesah. Kami harapkan Walikota bisa turun ke lokasi untuk melihat langsung kondisi warga,” katanya.
Warga lain, Hairul tidak mempersoalkan rumahnya dibongkar. Hanya saja masalah-masalah di tempat relokasi bisa diselesaikan. Apalagi hal itu sudah dijanjikan, namun hingga kini belum kunjung diperbaiki.
“Kita tolak pindah masalahnya di tempat relokasi, kondisi rumah rusak, tidak ada air bersih, rawan banjir gunung dan tidak tersedia fasilitas seperti sekolah, pasar dan rumah sakit,” katanya.
Jika hal itu telah ada, Ia dengan sadar akan pindah dan merelakan rumahnya dibongkar. Namun kenyataannya pembongkaran berlaku bagi pemukiman warga. Sementara toko, ruko dan rumah mewah tidak masuk dalam data pembongkaran.
“Pembongkaran juga tidak adil dan terkesan pilih kasih. Karena hanya pemukiman warga yang dibongkar sedangkan toko hingga rumah mewah tidak,” ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan, Ismail. Awalnya bersemangat pindah ke tempat relokasi, namun lama kelamaan pesimis karena prosesnya tidak sesuai dengan kesepatan, yakni warga akan dipindahkan ke tempat relokasi yang dekat dari tempat tinggal asal.
“Pindah saja saya dipimpong kiri kanan. Awalnya dijanjikan ke Kedo tapi tidak jadi lalu diarahkan lagi ke Jatibaru juga batal hingga akhirnya dipindahkan ke Kadole,” katanya.
Ia mengaku bukannya tidak mau pindah dan tinggal di rumah Kadole. Masalahnya kerap terjadi banjir gunung. Selain itu, tidak ada jaringan telepon/internet serta kondisi rumah tidak layak huni karena dinding retak, hingga tidak ada air bersih. “Lokasi Kadole itu perbukitan jadi tidak layak untuk ditempati,” pungkasnya. (uki)