Tanjung (Suara NTB) – Gempa bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu, 5 Agustus 2018, meluluhlantakkan infrastruktur khususnya bangunan di Lombok Utara. Dampaknya lebih parah dibandingkan dengan peristiwa gempa tahun 1979.
Setelah 39 tahun, gempa kembali mengguncang Lombok. Bedanya, tahun 1979 nyaris tidak ada hingar bingar kepanikan. Apalagi sampai mengungsi di posko-posko pengungsian.
“Tahun 1979 juga gempa, saat itu saya masih SMP. Guncangannya mungkin sama dengan kejadian 5 Agustus. Tapi saat itu nyaris tidak ada rumah rusak, apalagi korban jiwa,” kenang Nasir, tokoh masyarakat Genggelang, Kecamatan Gangga, Minggu (26/8).
Terakhir kali, aktivitas gempa sampai merusak perumahan warga terjadi pada tahun 2013 lalu. Wilayah terdampak pun tidak begitu banyak, hanya di beberapa desa di Kecamatan Tanjung, seperti Dusun Montong, Desa Jenggala, serta beberapa dusun di Orong Kopang dan sekitarnya – Medana.
Tahun ini sungguh berbeda. Hanya dalam hitungan pekan, gempa berulangkali melanda hingga menyebabkan trauma psikis pada warga. Korban meninggal yang lebih dari 470 orang se Kabupaten Lombok Utara (KLU) seolah menyadarkan warga, bahwa pulau yang dihuninya memang rawan. Warga pun mulai berpikir, fisik perumahan yang dibangunnya saat ini tidak cocok dengan kerawanan gempa yang sewaktu-waktu terjadi.
“Bale balak atau rumah panggung yang dibangun orang tua kita dulu ternyata sudah diperhitungkan, rumah paling aman karena daerah kita paling sering gempa. Kenyataan sekarang seluruh rumah panggung, atau berugak yang selamat. Gedung dan rumah permanen rata-rata roboh,” tegas tokoh masyarakat adat Sesait, H. Djekat Demung.
Ia mengingat betul, gempa kisaran bulan September tahun 1979 terjadi saat dirinya baru 2 bulan menjabat sebagai Kades Pemusungan Sesait, Kecamatan Kayangan. Namun tidak ada keresahan sedikitpun dari warga. Tidak pula menimbulkan persoalan di pemerintah, karena mengurus pengungsi.
“Oleh almarhum Pak Iskandar masih Bupati Lobar, beliau pernah tanya. Bagaimana kabar Bale Jejer yang di depannya ada berugak? Saya bilang 50 persen sudah habis. Sampai beliau sayangkan juga karena ternyata kita ini hanya termakan obsesi budaya orang,” kenang Djekat.
Bagi Wakil Ketua DPRD Lombok Utara ini, filosofi orang tua terdahulu layak untuk direnungkan kembali. Bahwa pada dasarnya, mereka lebih memilih rumah panggung karena terikat dengan kesederhanaan, lebih aman dan nyaman akibat guncangan alam.
“Saya tidak mau bicara mitos tapi kenyataan rumah panggung inilah yang paling tahan gempa. Sekarang juga sama, rumah panggung warga tidak ada yang rusak,” tandasnya.
Persoalannya, saat ini warga akan sangat kesulitan untuk membangun kembali rumah panggung. Material kayu, bambu, dan ilalang sangat sukit diperoleh. Jika pun tersedia, harga jualnya akan sangat tinggi.
“Umpama kita kembali kepada kearifan lokal, suku cadangnya tidak ada. Ilalang saja nilai jualnya tinggi dan langka. Kalaupun ada lebih banyak diserap oleh hotel,” aku tokoh masyarakat adat Bayan, Kertamalip.
Kades Karang Bajo 2 periode ini tak menyangkal, rumah sederhana dari tetua terdahulu paling awet dari ancaman gempa bumi. Sayangnya, filosofi kesederhanaan itu telah disalahartikan oleh generasi saat ini sehingga menganggap rumah panggung adalah ruamh yang tidak layak huni.
“Mengapa orang tua kita dulu membangun rumah tradisional tidak gunakan besi untuk pasak tapi gunakan pasak kayu. Ternyata dengan cara itu apabila bangunan bergoyang maka yang berubah hanya pasaknya saja,” sebutnya.
Dalam beberapa kali kejadian gempa bumi, rumah adat tradisional di Kampu Karang Bajo, Masjid Beleq Bayan, serta rumah-rumah tradisional tidak satu pun yang terdampak. Bahkan pemangku adat hingga kini masih mendiami rumah adatnya dengan nyaman tanpa khawatir akan terjadinya gempa susulan.
“Ke depan untuk desain teknis perlu kita pikirkan bagaimana kembali kepada kearifan lokal. Dengan adanya program pemerintah yang merehabilitasi rumah warga dengan dana antara Rp 10-50 juta, sebisa mungkin tahan gempa,” tandasnya. (ari)