Simpan Cadangan Emas Raksasa, Pemda Dompu Harus Mulai Petakan Dua Isu Krusial

0

Mataram (Suara NTB) – Aneka Tambang (Antam) Tbk dan perusahaan tambang internasional asal Brazil, Vale menemukan cadangan emas dan tembaga raksasa di wilayah Hu’u, Kabupaten Dompu. Cadangan emas yang ada di Dompu diperkirakan dua kali lipat dibandingkan cadangan emas yang dimiliki PT. Newmont Nusa Tenggara yang sekarang menjadi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).

Selain emas, cadangan tembaga di Dompu juga dipekerkirakan lebih besar dari PT. Merdeka Copper Gold Tbk yang memiliki tambang di Jawa Timur (Jatim). Cadangan emas di Dompu diperkirakan mencapai 1,38 juta ton emas karena tambang Batu Hijau milik AMNT dengan cadangan 690 ribu ton emas. Sementara cadangan tembaga di Dompu diperkirakan melebihi 8,6 juta ton atau 19 miliar pounds sesuai cadangan tembaga di Merdeka Copper.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB, Ir. Muhammad Husni, M. Si yang dikonfirmasi Suara NTB, Selasa, 22 Mei 2018 mengaku belum mendapatkan laporan resmi dari PT. Sumbawa Timur Mining (STM) mengenai informasi tersebut. STM merupakan perusahaan pertambangan yang melakukan eksplorasi emas di wilayah Hu’u. PT. Antam dan Vale merupakan perusahaan yang berada di bawah PT. STM.

Husni mengatakan, pihaknya tak dapat berkomentar banyak mengenai hal ini. Pasalnya, informasi resmi dari PT. STM belum diperoleh hingga saat ini berkaitan dengan cadangan emas di Dompu. Saat ini, kata Husni PT. STM sedang mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Dijelaskan, IPPKH PT. STM untuk melakukan eksplorasi di wilayah Hu’u, Kabupaten Dompu sudah berakhir akhir tahun lalu. Sehingga, PT. STM kembali mengajukan IPPKH ke Kementerian LHK.

‘’Ada izin yang belum dikantongi. Kalau ndak salah IPPKH, itu belum keluar. Kalau sudah keluar IPPKH, maka akan ekplorasi lagi,’’  kata Husni.

Izin ekplorasi PT. STM saat ini dalam status penghentian sementara. Untuk melanjutkan ekplorasi maka harus keluar IPPKH. PT. STM memperoleh izin ekplorasi pertambangan emas di Dompu  dalam bentuk kontrak karya (KK) dengan luas sekitar 19.200 hektare.

Husni menjelaskan, IPPKH yang diberikan pemerintah pusat untuk menyelesaikan ekplorasi waktunya bisa setahun atau dua tahun. “Perusahaan biasanya butuh waktu sekian tahun untuk menyelesaikan eksplorasinya. Cuma kita belum tahu, berapa lama dia minta IPPKH untuk melakukan eksplorasi,” ujarnya.

Apakah perusahaan ini serius melakukan penambangan emas di Dompu? Husni mengatakan, pasti semua perusahaan pertambangan yang sudah melakukan ekplorasi serius. Karena untuk melakukan eksplorasi butuh biaya yang tidak sedikit. Jika perusahaan pertambangan tidak serius maka mereka yang rugi.

“Jadi, mereka ini berhitung. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi,” imbuhnya.

Lantas apa yang perlu dipersiapkan Pemkab Dompu jika nantinya ada perusahaan pertambangan di sana? Husni mengatakan, Pemda Dompu perlu memetakan dua isu krusial yang sering menjadi persoalan di daerah ketika perusahaan tambang berproduksi.

Menurutnya, Pemda Dompu perlu  belajar dari Sumbawa ketika awal mula beroperasinya PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT).  Ia menyebut, dua isu krusial yang sering menjadi persoalan ketika ada perusahaan pertambangan yang beroperasi di suatu daerah. Yaitu mengenai tenaga kerja lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal.

“Itu dua hal yang paling ‘’seksi’’. Ini yang perlu dipersiapkan dari sekarang,’’ sarannya.

Persoalan tenaga kerja lokal dan non lokal sering menjadi persoalan ketika perusahaan tambang berproduksi. Tenaga kerja lokal sering mendesak untuk diakomodir. Padahal belum tentu siap sesuai dengan spesifikasi skill atau keterampilan yang dibutuhkan perusahaan tambang. Sehingga, Pemda perlu menyiapkan tenaga kerja lokal yang dibutuhkan perusahaan tambang nantinya ketika  berproduksi.

‘’Itu saja yang bikin ribet. Ketika Newmont juga dulu sama. Pemda Dompu perlu belajar bagaimana dulunya Pemda Sumbawa itu menghadapi awal operasinya PT. Newmont Nusa Tenggara. Kesiapan tenaga kerja dan pemberdayaan masyarakat yang paling krusial,’’ katanya.

Biasanya, masyarakat lokal ingin mendapatkan bagian dari keberadaan perusahaan tambang yang ada di daerahnya. Sehingga, perlu juga disiapkan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat di lingkar tambang.

Ketika perusahaan tersebut beroperasi, maka masyarakat dapat mengambil peran. Seperti menyiapkan produk lokal yang memenuhi standar perusahaan pertambangan. “Pemda perlu memetakan kebutuhan industri pertambangan itu dari sekarang,” imbuhnya.

Cuma, kata Husni, kegiatan operasinya pertambangan agak sulit diprediksi. Untuk itu, perlu ada kepastian dari perusahaan pertambangan yang sedang melakukan eksplorasi saat ini, kapan mereka akan melakukan operasi produksi. Sehingga, Pemda dapat mempersiapkan tenaga kerja dan memberdayakan masyarakat lokal.

“Jangan nanti Pemda sudah siapkan tenaga kerja, sudah dididik segala macam. Kemudian batal. Nanti malah masyarakat protes dan  demo bupatinya,” kata Husni.

Husni mengatakan, kandungan emas baru dapat diketahui setelah proses eksplorasi tuntas. Untuk PT. STM ini, Husni mengatakan pihaknya belum mengetahui apakah feasibility study (FS)  sudah dilakukan atau belum. biasanya setelah FS, perusahaan akan membuat DED dan Analisi Mengenai Danpak Lingkungan (Amdal).

Ketika berkaitan dengan pembahasan Amdal, kata Husni, biasanya Pemda akan diundang. ‘’Ini belum tahu apakah sudah bikin atau belum FS. Begitu juga Amdal,’’ tandasnya.

STM merupakan perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, dan berkedudukan di Jakarta Barat sebagaimana termaktub dalam Akta tertanggal 6 Februari 1998 No.19 dan telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusannya tertanggal 13 Februari 1998 No. C2-847.HT.01.01.Th.98.

Perusahaan ini melaksanakan kegiatan usaha di bidang pertambangan termasuk eksplorasi, pengolahan, dan penjualan emas dan mineral turunan lainnya. Saat ini STM adalah pemegang Kontrak Karya (KK) mineral berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. B.53/Pres/I/1998 tertanggal 19 Januari 1998. (nas)