Pajak dari Izin Pertambangan untuk Provinsi Diduga Menguap

0

Mataram (Suara NTB) – Provinsi belum menikmati pajak dari izin-izin pertambangan yang ada di kabupaten/kota, meski Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah diberlakukan.

Karena itu, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diharapkan direvisi, setelah kewenangan perizinan dan pengawasan kegiatan pertambangan sudah dilimpahkan ke pemerintah provinsi.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTB, Ir. M. Husni, M. Si mengatakan, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pengawasannya dilimpahkan dari kabupaten/kota ke provinsi.

Namun regulasi tersebut tidak diikuti dengan pelimpahan hak bagi provinsi untuk mendapatkan manfaat pajak dari kegiatan penerbitan izin yang wajib diikuti dengan proses pengawasan kegiatan pertambangan di lapangan.

“Ibaratnya provinsi yang mendapat PR, kabupaten/kota yang dapatkan rupiah,” katanya.

Husni tidak menyebut besaran pajak yang tidak diterima oleh provinsi dari IUP Pertambangan ini. Sebab untuk IUP batuan, setiap tahun terjadi flugtuasi.

Izin penambangan bahan batuan ada di provinsi saat ini, harusnya melekat juga dengan pajak yang seharusnya masuk di provinsi. Tetapi hal tersebut belum berlaku.

Saat ini jumlah IUP untuk pertambangan mineral logam yang masih aktif hingga akhir 2016 sebanyak 21 perusahaan. Sedangkan IUP tambang batuan sebanyak 173 perusahaan.

Perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan bahan batuan terbanyak di Kabupaten Lombok Timur, yakni 67 IUP, sebagian lagi di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Bima.

Aspirasi ini kata kepala dinas, sudah disampaikan kepada salah satu wakil rakyat NTB yang ada di Senayan, Ketua Komisi VII DPR-RI Dr Kurtubi, yang membidangi masalah pertambangan.

“Kita menginginkan agar UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah segera direvisi. Persoalan ini sebenarnya tidak saja terjadi di NTB, tetapi di seluruh provinsi lainnya di Indonesia,” ujarnya. Karena itulah, besar harapannya revisi Undang-Undang segera dilakukan pemerintah pusat. (bul)