Hutan Lindung di Bima Jadi Ladang Jagung

0

Bima (Suara NTB) – Euforia penanaman komoditi jagung di Dompu semakin merambah ke Kota Bima dan Kabupaten Bima. Selain lahan pertanian, kawasan hutan lindung pun berubah fungsi jadi area perladangan.

Pemandangan memprihatinkan itu di kawasan hutan Lindung Kecamatan Wawo Kabupaten Bima.  Desa Pesa, Desa Lesu, Desa Maria, Desa Raba, termasuk dalam kawasan hutan lindung dengan kontur perbukitan hingga pegunungan.

Pantauan Suara NTB Minggu, 24 Desember 2017 lalu salah satunya jalur di antara Desa Pesa dengan Desa Maria.  Pada jalur menanjak ini, kiri dan kanan jalan dipagari warga. Di dalam pagar, terhampar lahan yang  terlihat baru  selesai digarap untuk persiapan tanam. Sebagian besar sudah ditanami bibit jagung  yang berumur hitungan pekan.

Jalur tersebut masuk ke kawasan wisata Air Terjun Riamau, pada ketinggian sekitar 700 mdpl. Semakin menanjak, kian sulit menemukan hutan rimbun, kecuali tanah miring yang sudah berubah menjadi ladang. Tak peduli dengan tanah  ekstrim dengan kemiringan mendekati 90 derajat pun jadi ladang. Pohon keras hanya tersisa beberapa batang saja, seperti kemiri.

Menurut Azhar, salah seorang petani, memilih tanaman jagung karena menguntungkan. Jika mengikuti harga di Dompu, jagung kering gudang Rp 3.300 per Kg dan kering panen Rp 2.300 per Kg. Usai panen tidak sulit untuk pemasaran produk. ‘’Nanti sudah ada yang datang beli kalau sudah panen,” kata Azhar.

Dia membenarkan, kawasan itu sebelumnya adalah hutang tutupan negara. Namun sebelum masuk berladang  sejak setahun lalu, ia sudah mendapati area perbukitan itu sudah gundul. Ia pun statusnya numpang menggarap lahan warga lainnya.

Pemerintah Kabupaten Bima mengakui kondisi itu, bahkan menghubungkan kejadian banjir di Kota Bima Desember 2016 lalu sebagai dampak degradasi hutan lindung di Wawo. Rusaknya ekosistem di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sari yang hulunya berada di Kecamatan Wawo diakui menjadi penyebab bencana banjir, tidak hanya di Kota Bima tapi juga sebagian wilayah Kabupaten Bima.

‘’Kerusakan itu tanah tidak bisa meresap dan menahan curah hujan yang tinggi.  Hal itu diperparah lagi, dengan kondisi topografi daerah banjir berada pada lembah yang dikelilingi gunung. Jadi Kota Bima ini seperti mangkok,  dikelilingi bukit bukit gundul, termasuk yang dari Wawo,” kata juru bicara Pemkab Bima, Yan Suryadin kepada Suara NTB.

Dari lahan DAS Sari seluas 25.838 hektar, 24,8 persen atau 6.403 hektar dalam keadaan kritis. Luas vegetasinya hektarnya 23,3 persen.

Mengutip data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas lahan kritis se NTB mencapai 578.645,97 hektare. Luas lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 141.375,54 hektare atau sekitar 13,19 persen dari luas kawasan hutan di NTB. Kabupaten Bima menjadi daerah penyumbang lahan kritis seluas 161.256,53 hektare.  Sementara lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 141.375,54 hektare, diantaranya ada di Kabupaten Bima seluas 57.599,56 hektare.

Ditambahkan Yan Suryadin, kerusakan hutan itu semakin berpotensi meluas karena tumpulnya kewenangan daerah. Sebab saat ini, disebutnya, kewenangan pengawasan hutan ditarik Kementerian Kehutanan RI, berjenjang turun melalui Dinas LHK NTB, kemudian perpanjangan tangan kewenangan itu ada di Kelompok Pengelolaan Hutan (KPH).

‘’Dinas Kehutanan Kabupaten Bima sudah tidak ada kewenangan lagi. Rantai pengawasan ada di pusat, provinsi dan KPH. Nah ini yang jadi pertanyaan kami, bagaimana KPH bisa  menjangkau luas hutan di Bima ini dengan jumlah personel terbatas? Maka kerusakan kerusakan yang diakibatkan perladangan liar warga juga tidak bisa dibatasi,” paparnya. (ars)