Mataram (Suara NTB) – Telah belasan tahun lamanya Nikmah (39), salah seorang warga Lingkungan Bertais Selatan, Kelurahan Bertais, Kecamatan Sandubaya menderita penyakit lupus. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya sejak 16 tahun silam tersebut membuatnya tak mampu lagi bekerja. Dulu saat masih sehat, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan juga pernah bekerja sebagai penenun di Cakranegara. Namun karena sakit-sakitan ia memutuskan berhenti.
“Sejak saya sakit ndak pernah kerja lagi. Soalnya (pandangan) mata saya kabur, ndak bisa lihat dengan jelas,” tutur Nikmah kepada Suara NTB ditemui di rumahnya akhir pekan lalu.
Salah satu dampak penyakit lupus ialah mengaburkan pandangan matanya. Selain itu, ibu dua anak ini tak bisa terpapar sinar matahari karena akan membuatnya kehilangan tenaga dan lemas. Rambutnya juga hampir habis karena rontok.
Nikmah menunjukkan kepalanya yang rambutnya rontok akibat penyakit lupus yang diderita selama 16 tahun.
“Seminggu, dua minggu saya kelihatannya gemuk. Tapi nanti tiba-tiba drop, tiba-tiba lemas, nafsu makan ndak ada,” paparnya. “Kalau penyakit saya mau kambuh, badan semua terasa perih, menyayat seperti disilet. Gatal-gatal dan kadang kedinginan,” tambahnya.
Sejak terkena lupus, ia pernah beberapa kali dirawat di Puskesmas maupun RSUD NTB. Ia pun harus minum obat seumur hidup. Namun karena obat yang dibeli harganya cukup mahal, sejak empat tahun lalu ia memutuskan tak lagi minum obat. Biasanya sekali menebus obat di apotek, ia dan suaminya harus merogoh kocek sekitar Rp 80 ribu. Jumlah tersebut baginya sangat banyak, apalagi Nikmah tergolong keluarga miskin. Memang ada obat yang harganya murah, sejenis obat generik. Itu pun hanya untuk menghilangkan rasa sakit yang sewaktu-waktu menyerangnya saat penyakitnya kambuh.
“Sekali tebus obat Rp 70 ribu, Rp 80 ribu. Lama-lama kami merasa tak bisa lagi terjangkau untuk beli obat karena mahal. Saya putuskan tak lagi berobat. Sudah empat tahun ini saya ndak minum obat, capek sudah minum obat,” tuturnya.
Nikmah pun pasrah dengan penyakit yang dideritanya. Selain diuji dengan penyakit yang telah dideritanya selama belasan tahun, ia juga diuji dengan kemiskinan. Nikmah beserta suami dan dua anaknya tinggal di sebuah rumah tak layak huni yang terbuat dari bambu dan beratap seng.
Suaminya Mawardi Siddik juga mengalami cacat karena kecelakaan beberapa tahun lalu. Kaki kanan suaminya diamputasi dan kini menggunakan kaki palsu. Suaminya juga tak memiliki pekerjaan tetap.
“Kalau sembuh atau tidaknya, hanya Allah saja yang tahu. Saya pernah dengar penyakit ini bisa sembuh tapi harus berobat ke luar negeri. Sekarang berserah sama Allah saja,” katanya pasrah. (ynt)