22 IUP di NTB Sudah Layak Dicabut

0

Mataram (Suara NTB) – Batas waktu evaluasi izin usaha pertambangan mineral dan batubara (IUP Minerba) oleh Pemerintah Provinsi telah berakhir padar 2 Januari 2017. Setelah periode tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri nomor 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, maka IUP yang berstatus non-Clean and Clear (Non-CnC) harus dicabut atau diakhirkan.

Evaluasi ribuan IUP minerba tersebut meliputi aspek administratif, kewilayahan, teknis dan lingkungan serta kewajiban finansial. Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyatakan pihaknya mendesak gubernur di seluruh Indonesia untuk segera mengambil tindakan tegas atas status IUP yang berstatus Non-CnC di wilayahnya masing-masing.
Tindakan tegas tersebut, lanjut dia, adalah dengan mencabut izin-izin yang non-CnC dan mengembalikan status lahannya sesuai dengan kebijakan peruntukan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan, apalagi jika izin tersebut berada dalam kawasan hutan.

‘’Proses penertiban IUP non-CnC ini harus ada ujungnya, tidak boleh lagi berlarut-larut, terlebih lagi telah ada keterlibatan KPK dalam monitoring dan supervisi dari proses rekonsiliasi dan evaluasi IUP ini sejak tiga tahun lalu,” ujar Aryanto dalam rilis yang diterima Redaksi Suara NTB, Rabu (3/1).

Sekjen FITRA NTB, Ervyn Kaffah, kepada Suara NTB, menyebutkan, untuk NTB, saat ini terdapat 77 IUP. Sebanyak 55 diantaranya sudah CnC sementara 22 lainnya belum CnC.

Ia menambahkan, sesuai catatan FITRA NTB, merujuk informasi BKPMPT Provinsi NTB, total IUP bermasalah di NTB sebanyak 114 IUP. Sebanyak 105 IUP diumumkan telah dilakukan pengakhiran karena izinnya mati dengan sendirinya, tidak ada kegiatan dan tidak memperpanjang izin. 105 IUP ini diserahkan ke KPK.

Sebanyak 2 izin logam di Bima dan Dompu dicabut karena proses penetapan izin tidak memenuhi syarat. Sementara, 7 Lainnya tidak jelas. Sementara untuk tunggakan kewajiban perusahaan-perusahaan tersebut masih tersisa Rp 17 miliar lebih. Data tersebut merupakan data per Juni 2016.

‘’Hingga awal November itu, nampaknya masih ada masalah terkait keakuratan data untuk NTB akibat belum beresnya proses rekonsiliasi data antara Pemda dengan Dirjen Minerba. Yang mungkin saja disebabkan SK mengenai IUP di NTB belum disampaikan kepada Dirjen Minerba,’’ kata Ervyn.

Dalam siaran persnya, pada 20 Desember 2016 lalu, Menteri ESDM, Ignasius Jonan menyebutkan IUP yang telah dinyatakan lolos evaluasi atau berstatus Clean and Clear (CnC) mencapai 6.335 IUP dari total sebanyak 9.721 IUP, sehingga masih terdapat 3.386 IUP berstatus Non-CnC.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menegaskan apabila gubernur tidak melakukan pencabutan IUP Non-CnC, Kementerian ESDM harus menggunakan kewenangannya untuk melakukan pencabutan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 152 Undang-Undang nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba (UU Minerba). Maryati juga merekomendasikan kepada Kementerian ESDM untuk berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga lain seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kewajiban lingkungan, finansial dan perpajakan pelaku industri pertambangan.

Kewajiban Perusahaan Tetap Harus Ditagih
Agung Budiono, Manajer Program Tata Kelola Batubara PWYP Indonesia mengingatkan bahwa pencabutan IUP Non CnC tidak menghilangkan kewajiban perusahaan yang belum dilaksanakan.
“Pemerintah harus tetap menagih baik kewajiban keuangan maupun lingkungan perusahaan yang belum diselesaikan seperti pajak, PNBP maupun pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang, kendati IUP-nya sudah dicabut,” tegasnya.

Temuan Korsup Minerba KPK menyebutkan sebanyak 6,3 juta hektar tambang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, masih terdapat piutang PNBP sebesar Rp 26,2 triliun dimana 21,8 berupa DHPB/royalti dari 5 (lima) Perusahaan PKP2B Generasi I dan sisanya Rp 4,3 triliun dari PKP2B, KK dan IUP; dan sebanyak 75% IUP tak membayar jaminan reklamasi dan pasca tambang.

‘’Pemerintah harus memastikan penyelesaian kewajiban perusahaan-perusahaan tambang tersebut secara transparan karena menyangkut kerugian negara dan kerugian lingkungan hidup. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi seharusnya semakin mempermudah langkah-langkah pemerintah menghadapi perilaku perusahaan-perusahaan tambang yang tidak mau melunasi kewajibannya jika masuk ke dalam ranah hukum,’’ pungkas Agung. (aan)