Berburu Nasi di Swiss dan Melihat Jerman Menjual Hasil Panen Petaninya

0

Kop MElangkah Eropa

Setelah dari Milan, Italia, saya kembali ke Lyon, Perancis. Senin, 7 November 2016, ada kegiatan penandatanganan kesepakatan kerjasama antara BPPT RI, lembaga yang mengundang saya ke Eropa dengan Institut National de L’Energie Solaire (INES) di Lyon. Saya dan rombongan BPPT kembali menempuh perjalanan sekitar 5 jam menuju Lyon dari Milan. Esok harinya setelah tiba di Lyon, saya dan rombongan  melanjutkan perjalanan ke Swiss. Perjalanan Lyon- Swiss adalah perjalanan yang “menggetarkan”. Ada rindu di sana. Kami mulai rindu dengan makanan kampung halaman. Sebab selama empat hari di Eropa, kami belum pernah bertemu nasi dan makanan khas Tanah Air.

Eropa 2

(Dari kiri ke kanan) Shinta Pariaman, Suratna (BPPT), Raka Akriyani (paling kanan) foto bersama dengan pemilik Restoran Asia, Thach Gastro Gmbh (ke dua dari kanan).

Sekembali dari Italia, cuaca Kota Lyon lebih dingin dibandingkan sebelum saya berangkat ke Milan. Di luar hotel tempat saya menginap, salju tipis turun satu-satu di kota itu. Saya sengaja “menikmati” salju di luar hotel. Mungkin karena sudah biasa, masyarakat Kota Lyon tidak terpengaruh dengan cuaca dingin dan terpaan salju. Mereka beraktivitas seperti biasa. Saya menyaksikan masyarakat yang lalu lalang di jalan tanpa khawatir dengan cuaca dingin dan salju. Kebetulan hotel tempat saya menginap tidak terlalu jauh dengan terminal di Lyon. Sehingga saya bisa menyaksikan aktivitas masyarakat yang relatif padat dan tertib di terminal tersebut.

Dari Kota Lyon saya melanjutkan perjalanan ke Kota Zurich, Swiss. Perjalanan Lyon-Zurich menggunakan bus kami tempuh sekitar 5 jam. Seperti jalur yang dilintasi sebelumnya, bus yang kami tumpangi juga harus melewati jalan bawah tanah (terowongan). Lalu lintas Perancis menuju Swiss sangat  tertib. Laju bus diatur hanya 80 Km/jam. Sopir bus juga diwajibkan istirahat setelah 4,5 jam mengemudi.

‘’Sopir itu wajib break 45 menit setelah mengemudi,’’ ujar Paty, petugas dari INES yang mendampingi rombongan kami.  Jika dilanggar, sopir itu bisa disanksi hingga dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kesan saya, masyarakat di sana sangat disiplin. Aturan tegas ini diterapkan di Perancis khususnya, jelas untuk menjamin keselamatan dalam berkendara.  Agar sopir tidak mengendarai kendaraannya dalam kelelahan. Karena akibatnya bisa fatal. Rawan kecelakaan. Mungkin ini yang membuat Jerman dan juga negara lainnya di Eropa jarang terjadi kecelakaan lalu-lintas.

Memasuki Swiss, hujan salju kian lebat. Butiran es membasahi bumi  negara yang sebagian wilayahnya terdiri dari Pegunungan Alpen. Puncak gunung berbatu yang mengelilingi negara mungil itu sudah memutih diselimuti salju. Tiba di Swiss, kami langsung menuju Zurich, Ibukota Swiss. Kami tiba di kota itu sore hari. Di pusat  kota Swiss lalu lintasnya sangat padat. Layanan moda transportasi di kota itu didominasi  kereta.

Yang sedikit mengganggu, selama beberapa hari di Eropa saya dan rombongan belum pernah makan nasi. Kami rindu dengan nasi. Tetapi untuk mendapatkan nasi tidak mudah selain harganya relatif mahal.

Setiba di Zurich, yang pertama kami lakukan adalah mencari restoran yang menjual nasi. Karena selama di Lyon dan Milan kami tidak pernah menyantap makanan utama sebagain besar masyarakat Indonesia itu. Syukur, di salah satu sudut Kota Zurich kami menemukan restoran milik warga negara Vietnam, Thach Gastro Gmbh.

Di restoran yang sederhana itu kami menemukan menu makanan Asia yang relatif lengkap. Sama dengan menu banyak restoran dan warung di Indonesia. Di restoran itu tidak saja menjual nasi, ada capcay, mie goreng, tom yam, ayam goreng, udang goreng, kerupuk, pisang goreng dan berbagai jenis makanan khas Asia lainnya.

Yang menjadi masalah, untuk bisa menyantap sepiring nasi dan tambahan minuman dari ginseng, kami harus merogoh kocek 21 euro, setara dengan Rp 300.000 lebih. Tetapi tak mengapalah. Paling tidak, lidah saya yang sudah sangat rindu makanan kampung bisa terobati.

Menikmati Kota Zurich, sama juga dengan kota-kota lainnya di Eropa. Setidaknya, kota-kota yang sudah saya datangi sebelumnya. Swiss memang salah satu negara yang pantas untuk dikunjungi. Negara ini mempunyai banyak destinasi wisata. Salah satu yang terkenal adalah Danau Janewa dan Pegunungan Alpen.  Tetapi untuk berbelanja di Zurich saya harus mikir banyak kali. Saya memilih untuk tidak membeli oleh-oleh di Zurich. Zurich adalah salah satu destinasi yang menarik dikunjungi. Kota itu indah dan romantis. Namun  Zurich terkenal sebagai kota yang mahal di dunia.

Setelah ‘’menikmati’’ Swiss, saya melanjutkan perjalanan menuju Jerman. Dengan bus, saya dan rombongan menempuh perjalanan Swiss-Jerman sekitar 4 jam. Saya menuju Aviva Hotel di wilayah Karlsruhe, Jerman. Setelah menggelar rapat untuk persiapan acara kunjungan ke Fraunhofer Institute For Chemical Technology (ICT) yang berlangsung pada Selasa (8/11), saya dan beberapa anggota delegasi jalan-jalan ke pusat Kota Stuttgart. Kawasan Stuttgart terkenal dengan industri teknologi tingginya.

Di Kota Stuttgart, saya berkunjung ke pusat perbelanjaan terpadu setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Karlsruhe. Pusat perbelanjaan ini, benar-benar lengkap. Di kawasan ini selain menjadi pusat berbelanja berbagai kebutuhan juga dilengkapi destinasi wisata. Yang menarik di pusat perbelanjaan modern itu, para petani juga diberi tempat khusus untuk menjual hasil panennya. Jadi di pusat perbelanjaan yang super modern itu, ada pasar tradisional. Harga hasil pertanian yang dijual juga bersaing dengan komoditi yang sama dijual pasar modern. Petani di sini diberi ruang berkompetisi secara sehat.

‘’Model pasar (terpadu) seperti ini, perlu dicoba di Indonesia,’’ cetus Dr. Ir. Ngakan Timur Antara, Staf Ahli Menteri Bidang Penguatan Struktur Industri Kementerian Perdagangan, salah seorang anggota rombongan kepada Suara NTB. Pasar terpadu seperti ini, sudah dirintis oleh Kementerian Perdagangan seperti di daerah Serpong.

‘’Namun masih perlu disosialisasikan secara masif,’’ katanya.

Sementara untuk transportasi umum di lima negara di Eropa sama. Mudah, nyaman dan terintegrasi. Di Jerman dengan membeli tiket seharga 2 euro untuk dua jam, saya bisa berputar-putar di kota menaiki kereta. Kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan lainnya dengan menumpang bus dengan satu tiket tadi. Model pelayanan terintegrasi seperti ini, menarik dicoba di Indonesia.***